PENALARAN TA’LILI
Disusun Oleh :
HABIBULLAH
24121518-2
Mahasiswa
Program Magister
Konsentrasi
Fiqh Modern
Unit 1 Non-Reguler
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, S.Hi, MA
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2012-2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Konstruksi dasar pembinaan hukum Islam telah diletakkan oleh
Rasulullah SAW yang bentuk-bentuk cakupan hukum yang diformulasikannya dapat
berupa; pertama, penjelasan yang berkaitan dengan arti dan maksud
al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh Nabi dalam contoh dan perbuatan. Kedua,
penjelasan yang berkaitan dengan perluasan dasar-dasar yang dinyatakan oleh
al-Qur’an yang kelihatannya menambah hukum yang dinyatakan al-Qur’an itu
sendiri, dan ketiga, penjelasan yang berkaitan dengan
pembatasan/pengurangan kandungan al-Qur’an.
Dari konstruksi Nabi tersebut, kemudian para teoritisi hukum
Islam mulai menyusun konstruksi metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan
hadis dalam usaha untuk mendekatkan pemahaman kepada maksud dan tujuan syari’at
serta berusaha untuk mendekatkan hasil penalaran/pemahaman tersebut dengan
realitas sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Para mujtahid tidak membuat, tetapi hanya menemukan
hukum. Hal itu adalah karena keyakinan dalam Islam bahwa hukum dibuat oleh
Tuhan sebagai asy-Syari’ (pembuat hukum). Manusia hanyalah memahami (fiqh)
hukum Ilahi tersebut. Proses pemahaman terhadap hukum itu disebut istinbaht
al-hukm melalui kegiatan intelektual yang disebut ijtihad.
Hasil-hasil hukum yang diistinbat melalui kegiatan ijtihad itu dinamakan fiqih.
Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan
konkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada
peristiwa/kasus khusus. Penemuan hukum berbeda dengan penelitian hokum yang
lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat klinis yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan apa hukum suatu kasus konkret tertentu. Penelitian
hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari
hubungannya dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan
normatif terhadap hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum,
menemukan asas/doktrin hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum
serta menemukan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian
sesungguhnya penemuan hukum hanyalah sebagian dari penelitian hukum.[1]
Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam
rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab
persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Al Quran dan Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode
yang diterapkan diharapakan akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan
berbagai persoalan yang muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan metode
penemuan hukum ta’lili.
Dari
uraian yang telah saya kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu gambaran dan
batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah : Bagaimana terjadinya ijtihad ta’lili
(penalaran ta’lili) dalam meng’illah suatu hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
PENALARAN METODE TA’LILI
A. Pengertiaan dan Pembagian Istinbath
Menurut bahasa, kata istinbath merupakan akar kata
dari kata nabatha-yanbuthu-nabthan yang berarti air yang pertama kali
keluar/tampak pada seseorang yang menggali sumur. Dikatakan istanbatha
al-faqih berarti mengeluarkan hukum (fiqh) yang tersembunyi dengan
pemahaman dan ijtihadnya.
Al-Jurjani
memberikan arti istinbath menurut bahasa dengan mengeluarkan air dari
mata air (dalam tanah).[2]
Karena itu secara umum kata istinbath digunakan dalam arti al-istikhraj
(mengeluarkan). Sedangkan menurut istilah, kata istinbath
diberikan pengertian oleh para ulama dengan beberapa penekanan yang hampir
sama. Misalnya al-Jurjani memberikan definisi istinbath dengan :
إستخراج
المعاني من النصوص بفرط الذهن وقوة القريحة
“mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas (al-Qur’an
dan sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.
Kata istinbath terdapat
dalam al-Qur’an dalam bentuk fi’l al-mudhari’ yaitu yastanbithunah
yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 83.
Muhammad Mushtafa al-Maraghi
mengartikan kata istinbath dengan mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi
dari pandangan mata. Ketika menafsirkan ayat 83 dari surat an-Nisa’, dia
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan yastanbithunah adalah
mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas) dengan ketajaman pemikiran
mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik garis bawahi bahwa istilah istinbath
menurut para teoretisi hukum Islam agak identik dengan ijtihad.
Sebagaimana diketahui bahwa pengertian ijtihad menurut para teoretisi
hukum Islam adalah upaya mencurahkan segenap kemampuan faqih dalam
mengeluarkan hukum-hukum yang amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.
Secara
garis besar ada dua macam perangkat atau metode yang dikembangkan oleh para
teoretisi hukum Islam dalam rangka istinbath-nya yang meliputi metode istinbath
yang dilakukan dengan cara menggali hukum kepada nas secara langsung dan
kedua metode yang dilakukan dengan cara menggali hukum dengan cara
mengembalikan kepada nas secara tidak langsung, tetapi hanya melalui
kaidah-kaidah umum yang dikenal dengan al-qawaid al-fiqhiyyah.
Untuk
jenis metode yang pertama, para teoretisi hukum Islam merumuskan tiga metode
penemuan hukum yakni (1) metode interpretasi linguistik (ath-thuruq
al-bayaniyah); (2) metode kausasi (istinbath ta’lili); dan
(3) metode istinbath istishlahi.[3] Ketiga
metode tersebut dikenal juga dengan nama metode istinbath ushuli
(pokok). Disebut demikian sebab wujud dari metode tersebut mendahului furu’
atau fiqh yang merupakan produk dari penerapan metode istinbath
tersebut.
Sedang metode kedua dapat disebut dengan metode istinbath
qawa’id kulliyyah. Metode ini merupakan seperangkat kaidah yang dibangun
berdasarkan penelitian secara induktif terhadap berbagai kasus fiqh yang
kemudian dijustifikasi dengan nas-nas yang bersifat kulliyah. Fungsi
dari kaidah-kaidah tersebut adalah untuk mengembalikan berbagai permasalahan
fiqhiyah maupun menyelesaikan kasus-kasus baru yang bersifat cabang.
B. Pengertian Metode Ta’lili/ Ijtihad Ta’lili
Metode
kausasi (at-ta’lil) merupakan bagian penting dalam penemuan hukum syar’i
karena metode
penalaran ta’lili ini merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus yang
tidak ada teks hukumnya. Di sini teks hukum yang ada diperluas cakupannya
sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya).
Penalaran ta’lili adalah penalaran yang didasarkan kepada anggapan
bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan untuk mengatur prilaku manusia
ada alasan logis atau nilai hukum yang akan dicapainya, maka pada dasarnya
penalaran ta’lili merupakan metode istimbat hukum yang berupaya menggunakan
illat tersebut sebagai alat utamanya.
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat
disimpulkan bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (dhahir)
yang dapat diukur dan mengandung relevansi (munasabah) sehingga kuat dugaan
dialah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya.[4]
Yang
dimaksud dengan ijtihad ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari
nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan)
ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas)
bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.
Untuk
melakukan istinbath hukum secara qiyasi (ta’lili), menurut
mayoritas teoretisi hukum Islam diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi,
yaitu :
- al-ashl, kasus
asal, yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nas, dan analogi berusaha
memperluas ketentuan itu kepada kasus baru;
- al-far’, kasus
baru, sasaran penerapan ketentuan asal;
- al-‘illat,
kausa, yang merupakan sifat dari kasus asal dan ditemukan sama dengan
kasus baru;
- al-hukm
(ketentuan) kasus asal yang diperluas kepada kasus baru.
Untuk melakukan istinbath hukum secara qiyasi,
maka ‘illat hukum merupakan hal yang pokok dan perlu diperhatikan. Maka
sebagian ulama ushul seperti al-Bazdawi berpendapat bahwa rukun qiyas itu hanya
satu yaitu ‘illat saja.
Oleh karena itu, cara ini kemudian dikenal juga dengan
metode istinbath isti’lali, yakni metode mengambil kesimpulan hukum yang
didasarkan kepada ‘illat hukum. Misalnya tentang larangan membakar/memusnahkan
harta anak yatim yang diqiyaskan dengan larangan memakan harta mereka dengan
batil.
C.
Pengertian ‘Illat
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[5] Secara terminologi menurut Atha bin Khalil, ‘illat adalah sesuatu
yang dengan sebab keberadaannya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang
memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda,
dan yang memberi tahu adanya hukum. Menurut Abdul
Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar
hukum. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan
dan sesuai dengan hukum. Menurut Mu’in
Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar
untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang
belum ditetapkan hukumnya.
Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan
terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi
hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
o Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang
terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk
menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.[6]
o Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas,
sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk
penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[8]
‘Illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas, dapat diukur, dan
mengandung relevansi sehingga dapat diduga secara kuat bahwa itulah yang
menjadi alasan penetapan suatu ketentuan oleh Allah. Contohnya ialah kebolehan
mengqashar shalat bagi musafir. Musafir dipandang sebagai ‘illat karena
keadaannya jelas, yaitu tidak mukim, dapat diukur perjalanannya dengan jarak
atau waktu dan memiliki relevansi antara musafir dengan mengqashar shalat,
yaitu kemudahan. Kesukaran tidak bisa dijadikan ‘illat (dalam kasus mengqashar
shalat), sebab kesukaran adalah sesuatu yang abstrak, sulit diukur karena
tingkat kesukaran seseorang sangat relatif. Bila suatu keadaan tidak diketahui
relevansinya dengan suatu ketentuan maka ia tidak dapat dikatakan ‘illat tetapi
sebab. Sebagai misal adalah tergelincirnya matahari dengan kewajiban shalat
dzuhur. Tergelincirnya matahari dianggap sebagai sebab karena ia tidak dapat
diketahui relevansinya. Penggunaan dasar ‘illat sebagai dasar ijtihad
diterima oleh hampir semua ulama ushul.[9] ‘Illat berbeda dengan sebab
dan hikmah, sebab adalah sesuatu yang ada dengan sebab munculnya sesuatu yang
lain,[10] sedangkan hikmah adalah suatu kebenaran yang berfaedah bagi diri
manusia sesuai dengan kebutuhan manusia.[11]
Perbedaan antara ‘illat dengan hikmah adalah bahwa ‘illat merupakan
pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu
penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang
menjelaskan hasil dan tujuan hukum. Berdasarkan hal itu, ‘illat ada sebelum
adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum. Sedangkan hikmah
adalah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum. Hikmah dengan makna
seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.
Perbedaan ‘illat dengan sebab yaitu sebab merupakan tanda yang
memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda
yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat adalah perkara yang karenanya
terwujud hukum. Jadi, ‘illat adalah sebab pensyariatan hukum, bukan sebab
adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum. Contohnya: Firman Allah
Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Artinya: “ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Melalaikan sholat, menjadi sebab disyari’atkannya suatu hukum yaitu
haramnya berjual beli ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan
sebab. Berbeda dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena
sholat Dzuhur tidak disyari’atkan karenanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa
sholat dzuhur telah tiba.[12]
a.
Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki
‘illat, sesungguhnya sumber hukum asal adalah ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada
petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.
Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat,
kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul
qiyas) yang mengganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka
banyak ketentuan hukum nash yang harus
memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan
hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim
ialah ‘illat hukum atau kausa hukum.[14] Selama „illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika ‘illat hukum tidak tampak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum
Islam, para fuqaha melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama ‘illatnya, baik ada atau tidak adanya.
Arti kaidah
fiqh tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga ‘illat (kausa) yang
melatarbelakanginya ; jika ‘illat ada, hukum pun ada, jika ‘illat tidak ada,
hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik.
Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang
dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk ‘illat hukum secara tepat.
Mengenai adanya
kaitan antara ‘illat dan hukum, para fuqaha mazhab Zahiri tidak dapat menerimanya
sebab yang sesunguhnya mengetahui ‘illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara
pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya.[15] Menetapkan adanya kaitan hukum dengan ‘illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita
akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi,
yang terlihat adanya persamaaan ‘illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi
disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui ‘illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi
dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terjadi kemudian. ‘Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum
dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau
tidak adanya „illat pada kasus tersebut. Sehingga ‘illat dirumuskan sebagai suatu sifat
tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat
diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai
dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan
hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum,
dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. ‘Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan
dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan
hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan
menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘illat adalah hikmat
itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan
dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir
atau tidak, mundhabith atau tidak.[16] Jadi baginya ‘illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat
dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka
baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan ‘illat. Sebenarnya hikmat dengan ‘illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan
hukum.[17]
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan
‘illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan
hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya
hubungan antara metode qiyas dengan maqashid al-syari’at Dalam pencarian ‘illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi ‘illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat,
yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam ‘illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul
pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu
dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas. ‘Illat adalah hal yang oleh syari’ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar, tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. ‘Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber
pengambilannnya, yaitu ‘illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma’ dan ‘illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada nash).[18] ‘Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang
disebut sharih, yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima,
dan yang diperoleh dari adanya
Contoh lain adalah
riba, di mana biasanya didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas
besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang”. Jadi tekanannya pada “tambahan”
sebagai ciri pokok riba.
Riba dapat juga
didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang
yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada
“kesengsaraan/zhulm”, bukan
“tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’/species,sedangkan
“kesengsaraan” sebagai al-jins/genus/’illat.
Dari paparan di atas,
dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada pula yang
mengatakan esensinya adalah “zhulm”. Namun jika
kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai
makna apa-apa. Sebaliknya, “ketidakadilan” adalah hal yang bertentangan dengan
tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ’illat larangan riba
seharusnya “zhulm” bukan “tambahan”.
D.
Syarat-Syarat ‘Illat
Muhammad
Hashim Kamali telah meringkas beberapa syarat ‘illat –meskipun sebagian
besar masih kontroversial di antara para teoretisi hukum Islam– ke dalam lima
butir berikut ini :
- ‘Illat harus
merupakan sifat yang tetap (mundhabit) yang dapat diterapkan kepada
semua kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan pelaku, waktu dan tempat
serta keadaannya;
- ‘Illat yang
menjadi dasar dari qiyas haruslah jelas (zahir);
- ‘Illat harus
merupakan sifat yang patut (al-washf al-munasib) yang mempunyai
kaitan yang patut dan wajar dengan nas (hukm);
- ‘Illat harus muta’addi,
yaitu kualitas obyektif yang dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang lain;
- ‘Illat tidak
boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau mengubah hukum
dari nash.
E.
Rincian dan Macam-Macam
‘Illat
‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh
karena itu, ‘illat harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih),
menunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah
macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contohnya:
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka
tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang
yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya
sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min
ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan),
contohnya dalam firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا
تُظْلَمُونَ
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum
bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut
merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath
(mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Apa pendapatmu andai kata engkau berkumur-kumur (pada
saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau
bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium
adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma
maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena
sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna
membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari
Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat itu sesuai atau tidak, maka
Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai itu menjadi empat macam:
1) Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat
yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu,
baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat
hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di
waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran (adza).
Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Maka
oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab keharusn menghindari wanita di waktu
haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (munasib dan mu’tsir).
2) Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat yang
sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu. Dan
nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun
atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang
perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan
perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian
ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi
hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat
perawan dan kecil.
3) Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat yang
oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat
dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya
bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal,
artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang
disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang
oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian,
mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4) Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat
yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum.
Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja
dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[20]
F. Pembagiaan ‘Illat
1. ‘Illat
Tasyri’i
‘Illat tasyri’i adalah ‘illat yang digunakan
untuk mengetahui apakah suatu ketentuan masih perlu dipertahankan atau diubah,
karena ‘illatnya telah bergeser ataupun karena tujuan yang diinginkannya akan
tercapai. Contoh yang paling populer adalah ‘illat tentang zakat hasil
pertanian. Para ulama masa lalu memahami ‘illat zakat pertanian adalah makanan
pokok, dapat ditakar dan tahan lama. Tetapi ulama sekarang, semisal Yusuf
Qardhawi menemukan ‘illat baru, yaitu an-nama’ (produktif). Oleh karena
itu seluruh jenis tanaman yang produktif wajib dizakati.
2.‘Illat Qiyasi
‘Illat qiyasi adalah
pemberlakuan ‘illat terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara tekstual
karena adanya kesamaan dengan sesuatu yang telah disebut secara tekstual.
Sebagai misal adalah haramnya minuman keras seperti wiski, tuak, brandi dan
lain sebagainya, yang memiliki kesamaan ‘illat dengan khamr (sebagai asal yang
ada nas hukumnya). Kesamaan ‘illatnya ialah memabukkan. Wiski dan minuman keras
sejenis sebagai cabang yang memiliki sifat memabukkan, oleh karenanya ia
menjadi haram.
Qiyas sebagai salah satu kaidah penalaran dalam ushul fiqih diterima secara
luas oleh kalangan fuqaha. Hanya sebagian kecil saja yang menolak qiyas. Mereka
adalah kalangan mazhab Zahiri terutama Ibnu Hazm. Bagi Ibnu Hazm penggunaan
qiyas adalah sesuatu yang mengada-ada. Allah hanya membebani hamba-Nya sesuai
dengan kemampuannya. Jadi apa-apa yang tidak disebutkan dalam nas, merupakan
sebuah keringanan bagi seorang mukallaf dan hukumnya mubah. Karena itu tidak
perlu membuat ketentuan baru.
3.‘Illat Istihsani
‘Illat istihsani atau
disebut juga dengan qiyas khafy adalah ‘illat pengecualian karena adanya
‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang
dimakan burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas.
Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa daging yang
dimakan elang hukumnya juga haram. Qiyas yang demikian oleh ulama kalangan
Hanafiyah dianggap kurang memuaskan. Sebab ada perbedaan khusus antara burung
elang dengan binatang buas lain seperti harimau, macan, singa dan sebagainya.
Burung elang makan dengan paruhnya yang suci. Oleh karena itu sisa makanannya
juga suci hukumnya. Sementara itu binatang buas yang lain makan dengan
mulutnya, yang di situ terdapat air liur. Oleh karenanya, sisa makanan yang
dimakan olehnya diduga bercampur dengan air liur, yang berarti juga najis.
Karenanya sisa makanan binatang buas menjadi haram hukumnya. ‘Illat
istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan Hanafiah.[21]
G. Cara Menemukan ‘Illat
Untuk
memperluas cakupan teks hukum yang ada, perlu dilakukan penyelidikan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada di dalam teks hukum guna mengkaji dan menemukan
atribut yang menjadi dasar penetapannya. Dengan kata
lain, ‘illat yang melandasi suatu hukum harus diselidiki.
Para teoretisi hukum Islam telah mengembangkan beberapa teknik untuk
mengidentifikasi atribut yang menjadi ‘illat suatu hukum yakni melalui konteks
suatu nas, ijma’ (konsensus ahli-ahli hukum) dan melalui ijtihad (penalaran).[22]
Identifikasi atribut
yang menjadi ‘illat hukum melalui konteks nas dilakukan dengan
cara melihat nas. ‘Illat dalam nas terkadang disebutkan secara langsung
dan kadang-kadang berupa isyarat. ‘Illat yang disebutkan secara langsung
biasanya ditandai dengan lafaz-lafaz dan lain sebagainya.
Sedangkan ‘illat yang diketahui melalui isyarat biasanya dengan menggunakan
sifat yang mengiringinya, seperti ayat :
الزانية والزاني فاجلدوا
كل واحد منهما مائة جلدة
Disebutkannya
az-zaniyyat waz-zani beriringan dengan lafaz fajlidu menunjukkan
sifat dengan hukum. Maka dapat diketahui bahwa ‘illatnya adalah berzina.
‘Illat yang diketahui dengan ijma’ ialah ‘illat yang telah disepakati oleh para
mujtahid. Sebagai misal adalah ‘illat “as-sighar” dalam masalah
perwalian anak kecil dalam masalah harta.
Apabila tidak ada ijma’ mengenai ‘illat suatu hukum, maka kita menggunakan
tehnik ketiga, yaitu melalui ijtihad (penalaran). Ada dua cara yang diikuti
dalam penalaran untuk mengidentifikasi ‘illat, pertama, klasifikasi dan
eliminasi (as-sabr wa at-taqsim), yaitu pengujian terhadap ’illat dengan
cara mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi ‘illat
hukum kemudian satu-persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan
suatu ‘illat yang paling mungkin, kemudian ‘illat-illat lainnya dieliminasi.
Sebagai misal ialah kasus seorang badui yang berhubungan badan (bersetubuh)
dengan isterinya pada waktu siang hari di bulan Ramadhan. Oleh Nabi SAW ia
diwajibkan membayar kaffarah. Pada mulanya mujtahid menduga bahwa berhubungan
badan ialah ‘illatnya. Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut dan
diadakan penyaringan hukum dari berbagai ‘illat, maka para mujtahid menetapkan
adanya unsur kesengajaan berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan
sebagai ‘illat bagi kewajiban membayar kaffarah.[23]
Sedangkan kedua,
dengan cara pengujian kesesuaian atribut yang dinyatakan sebagai ’illat dengan
hukum, dan ini disebut konformitas (munasabah).
Semua hukum hasil
ijtihad harus ada ‘illatnya. Tuhan dalam menetapkan hukum memakai teori
kebijaksanaan Tuhan “hal af’alullah mu’allalah bil mashalih amla?”.
Hal itu bisa dijelaskan secara logis dan ada alasannya, bisa disebutkan dan
tidak disebutkan (bisa digali dan tidak bisa digali), sedangkan yang tidak bisa
digali sangat kecil.
Struktur hukum Islam
ada kaidah (rumah/bangunan) atau hukum/norma dan ada fondasi (dasar
hukum/’illat) yakni analisis ‘illat dengan ilmu-ilmu yang modern. Misalnya
kajian ilmu ekonomi Islam yang dilakukan oleh Anas Zarqa’ dalam kitabnya Islamiyyat
‘Ilm al-Iqtishad.
G.
Ayat-Ayat
Yang Menjadi Penghujjah Penalaran Ta’lili
Surat Al-Baqarah ayat: 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Surat
An-Nisaa ayat: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ“
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (an-Nisaa:59).
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Ada dua
macam perangkat atau metode yang dikembangkan oleh para teoretisi hukum Islam
dalam rangka melakukan istinbath, yaitu metode istinbath ushuli
dan metode istinbath qawaid kulliyyah.
2.
Yang
termasuk metode istinbaht ushuli adalah metode interpretasi linguistik (ath-thuruq
al-bayaniyah), metode kausasi (istinbath ta’lili) dan metode
istinbath istishlahi.
3.
Bahwa istilah istinbath menurut para ulama ushul agaknya identik dengan ijtihad.
5.
Konstruksi metodologi hukum Islam
sampai saat ini masih efektif digunakan sebagai metodologi penalaran hukum.
Artinya metode kausasi (ijtihad ta’lili) akan digunakan apabila metode
interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyyah) dirasa kurang
menjangkau tujuan hukum.
6.
Semua hukum hasil
ijtihad harus ada ‘illatnya. Tuhan dalam menetapkan hukum memakai teori
kebijaksanaan Tuhan “hal af’alullah mu’allalah bil mashalih amla?”.
Hal itu bisa dijelaskan secara logis dan ada alasannya, bisa disebutkan dan
tidak disebutkan (bisa digali dan tidak bisa digali), sedangkan yang tidak bisa
digali sangat kecil.
Demikianlah pembahasan tentang
metode ijtihad ta’lili dalam tulisan ini. Ijtihad akan selalu terbuka
dilakukan jika hukum yang telah ada belum bisa menjawab permasalahan yang
berkembang dan aktual dalam masyarakat muslim.
DAFTAR PUSTAKA
‘Atha bin Khalil. Ushul Fiqh. (Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 2008).
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A‟la al-Indonesia
1972)
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum Islam. (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Ahmad Hasan,
Analogical Reasoning in Islamic
Jurisprudence, terj. Widyawati, Qiyas Penalaran Analogi Di Dalam Hukum
Islam, (Bandung : Pustaka, 2001)
Al-Ghazali, al-Mustashfa
min ‘ilm al-Ushul (Kairo : Syirkah ath-Thiba’ah al-Fanniyyah al-Muttahidah,
1971).
Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul
al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr
Anwar, Syamsul, “Teori Konformitas dalam Metode
Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah, dkk., Antologi
Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan
Kalijaga, 2000), cet. I.
Asy-Syarif Ali bin
Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1988)
Az-Zuhaili,
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus :
Dar al-Fikr,1986), cet. I
http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php
diakses tanggal 14 November 2009.
Kamali,
Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh),
terj. Noor Haidi (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1996),
cet.I.
Mahmud Yunus.
Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972)
Mu’in Umar
dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta : Departemen
Agama RI, 1985)
Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, terj. Saefullah Ma’shum, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000)
Muhammad Ma’ruf ad-Dawaalibi, Al Madkhal Ilaa ‘Ilm Ushuul al-Fiqh, 1959
Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah
al-‘Arabiyyah, 1981)
Zein, Fuad, “Aplikasi Ushul Fiqh
dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer” dalam M. Amin Abdullah, dkk., “Mazhab
Jogja” : Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta :
Ar-Ruzz Press, 2002), cet. I.
[1] Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam
al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah dkk., Antologi Studi Islam : Teori dan
Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), cet. I, h.
273-274.
[2] Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hal. 22
[3] Muhammad Salam Madzkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami
(Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1984), h. 42-49; Muhammad Ma’ruf
ad-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Kutub
al-Jadidah, 1965), h. 405-412. Sejauh ini para ahli hukum Islam tidak menyebut
penyelarasan/sinkronisasi (at-taufiq) sebagai salah satu metode penemuan
hukum. Menurut Syamsul Anwar, sesungguhnya metode ijtihad qiyasi dan
metode ijtihad istishlahi dapat dimasukkan ke dalam satu kategori, yaitu
metode kausasi. Dengan demikian, metode penemuan hukum Islam dapat dibedakan
menjadi tiga macam yaitu metode interpretasi linguistik, metode kausasi dan
metode penyelarasan. Lihat Syamsul Anwar, “Teori Konformitas…”, h. 275.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-Indonesia
1972), hal. 84
[5] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta:. Mahmud Yunus
Wadzurriyah, 1972), hal. 276.
[9] Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah
al-‘Arabiyyah, 1981), h. 14-34
[10] Ali bin
Muhammad al-Syarif al-Jurjani, al-Ta’rifat,
(Riyadh: Maktabah Lubnan), hal.96.
[11] Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, al-Ta’rifat……, hal. 123.
[13] Muhammad Abu
zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, terj. Saefullah Ma’shum, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000), hal.365.
hlm.20.
[15] Ibid.... hal.22.
[17] Contoh, dalam bidang ibadah (shalat
qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya
itu „illatnya karena safr, sedangkan
musyaqatnya merupakan hikmat
[18] Ibid....,
hlm. 24.
[19] Muhammad Ma’ruf ad-Dawaalibi, Al Madkhal Ilaa ‘Ilm Ushuul al-Fiqh, 1959, hlm. 417.
[20] Abdul Wahhab
Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hal.
105-112).
[21] Ahmad
Hasan, Analogical Reasoning in Islamic
Jurisprudence, terj. Widyawati, Qiyas Penalaran Analogi Di Dalam Hukum
Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), hal. 237-238.
[22] Al-Ghazali, al-Mustashfa
min ‘ilm al-Ushul (Kairo: Syirkah ath-Thiba’ah al-Fanniyyah al-Muttahidah,
1971), h. 430-440; ‘Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm…, h. 75-7