URGENSI ILMU TASAWUF DI DALAM MASYARAKAT
MODERN
Oleh: Habibullah
Mahasiswa Program Magister (S2) Konsentrasi Fiqh Modern
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
A.
Ilmu Tasawuf
Pemahaman terhadap wacana agama tidak hanya dapat dilakukan dengan
melihatnya dari satu perspektif saja. Hal ini terutama berlaku bagi agama yang
disebut dengan “Islam”. Agama Islam itu harus dikaji, ditelaah serta dicoba
untuk dipahami dan akhirnya untuk dicari kebenarannya dengan tiga perspektif;
fiolosofis, sosio-historis dan spiritual-mistikal. Tentu saja ini sejalan
dengan trilogi Islam sepanjang zaman yang berupa wacana iman (filosofis), Islam
(sosio-historis) dan ihsan (spiritual).[1]
Dari triologi Islam di atas, yaitu iman, Islam dan ihsan dapat
diartikan kepada tauhid, fiqh dan tasawuf atau akhlak. Tasawuf merupakan salah
satu bagian dari studi Islam yang banyak mendapatkan perhatian baik dari
kalangan para peneliti muslim, maupun dari kalangan para peneliti barat.
Sehubungan dengan itu telah banyak hasil kajian dan penelitian para ahli
tersebut menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di
berbagai belahan dunia Islam, sejak kedatangan Islam hingga saat ini. Karena tasawuf
merupakan fenomena ekspresi keagamaan yang bersifat universal, maka
kehadirannya tidak hanya di dunia Islam, melainkan di berbagai belahan dunia
Barat dan Eropa lainnya. Melihat kenyataan ini, di dalam hasil kajian dan
penelitian para ahli tersebut terkadang dijumpai pembahasan tentang hubungan
antara tasawuf yang terdapat dalam dunia Islam dan di luar Islam.[2]
Dalam ranah praktisnya, tasawuf dilandasi atas dua prinsip.
Pertama, upaya batin secara terus-menerus untuk menghubungkan antara seorang
sufi dan Allah. Ke dua, kemungkinan menyatunya seorang sufi dengan Allah.
Prinsip yang pertama memasukkan al-ahwal dan al-maqamat[3],
sedangkan prinsip yang kedua berupa al-wujud al-haq, al-maujud al-wahid al-ahad
yang dalam naungan-Nya berkumpul segala yang wujud, dan kemungkinan
mencapai-Nya sekira tiada yang abadi selain Dia[4].
Harun Nasution mengatakan bahwa tujuan mistisisme, baik di dalam
maupun di luar Islam, ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.[5]
Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, merupakan kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan, dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran ini selanjutnya mengambil bentuk
rasa dekat dengan Tuhan.
Perasaan dekat dan mencintai Tuhan yang demikian tidak semata-mata
ditujukan untuk memuaskan perasaan batin secara individual dan kesendirian
berkontemplasi, melainkan akan memberi fibrasi, resonansi dan energi yang
positif dan transformatif ke dalam diri manusia yang selanjutnya memberikan
visi transendental terhadap pola pikir, ucapan, sikap, perbuatan dan kebijakan
yang diputuskan oleh seseorang. Energi ini pada tahap selanjutnya akan
dirasakan bukan hanya oleh yang bersangkutan, melainkan oleh orang lain dan
lingkungan lainnya yang mendapatkan sentuhan darinya. Dalam konteks inilah,
maka tasawuf tidak dapat lagi dipahami sebagai ekspresi yang bersifat
individual, kontemplatif yang jauh dari lingkungan sosial,
melainkan ia merupakan bagian dari living value (nilai yang
hidup) dan core value (nilai yang utama) yang dirasakan manfaatnya oleh
umat manusia.[6]
Pengertian tasawuf menurut Zaki Mubarak memiliki kemungkinan asal
usulnya; pertama, mungkin berasal dari Ibnu Sauf, yang sudah dikenal
sebelum Islam datang sebagai gelar seorang anak Arab yang saleh, yang selalu
mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekati Tuhannya. Ia bernama Ghaus bin
Murr. Kedua, mungkin berasal dari perkataan sufah yang dipergunakan
untuk nama surat ijazah orang naik haji. Ketiga, mungkin berasal dari kata
Yunani, sophia yang berarti hikmah atau filsafat. Keempat, mungkin
berasal dari kata suffah, nama suatu ruang dekat Masjid Madinah, tempat
Nabi Muhammad memberikan pengajarannya kepada para sahabat, seperti Abu Dzar
al-Ghiffari dan lain-lainnya. Kelima, mungkin berasal dari kata suf yang
berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari
Syria (Zaki Mubarak, Al-Tasawuf al-Islam fi al-Adab wal al-Akhlaq, Mesir,
1937).[7]
Kata tasawuf berasal dari tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan yang
artinya bersih, murni, jernih. Pengertian ini mirip dengan zakka-yuzakki-tazkiyatan
yang berarti membersihkan jiwa atau batin dari berbagai sifat yang buruk,
seperti takabur, syirik, dusta, fitnah, buruk sangka, berbuat dosa dan maksiat.
Sifat ini berbeda dengan sifat thaharah yang berarti membersihkan diri dari
segi lahiriah dan fisik. Dengan demikian, kata tashawwuf mengacu kepada
dimensi batin (esoteric) manusia, sebagai lawan dari dimensi lahir (exoteric)
manusia. Dengan kedua dimensi ini, maka terdapat keseimbangan antara dimensi
lahir dan batin. Jika kedua dimensi ini diperbandingkan antara satu dan
lainnya, dalam pandangan tasawuf ternyata dimensi batin jauh lebih utama. Hal
ini sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak :
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menilai kepada jasad dan rupamu tetapi Allah akan menilai hati
dan amal perbuatan kamu sekalian”[8]
Pada prinsipnya tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam. Tasawuf
dikenal sebagai ajaran yang dapat menentramkan jiwa dan selalu bersifat
sederhana, baik dalam pergaulan antar sesama, karena Islam dan tasawuf, ajaran
dan ideologi-ideologi Islam bisa terjaga seutuh-utuhnya kalaulah dapat
dikatakan ajaran Islam tidak perlu pada sistem-sistem tasawuf, mungkin ajaran
itu semata-mata simbol baginya karena sifat amaliah dari hati yang bersih yang
mana hal ini Cuma tertata dalam ajaran tasawuf.
Rasulullah adalah sosok kekasih Allah yang selalu hidup dalam
keadaan sederhana, mulai dari segi makan, minum bahkan dalam berpakaian, tempat
tidurnya terbuat dari tikar (pelepah kurma) tidak pernah memakai pakaian yang
terbuat dari wol meskipun beliau mampu untuk membelinya. Singkat kata,
Rasulullah lebih cinta hidup dalam suasana sederhana dari pada hidup
bermewah-mewah.
Hal ini dilakukan supaya menjadi contoh bagi para sahabat dalam
hidup sederhana dan meninggalkan bermewah-mewah dari segala aspek kehidupan
duniawi beliau selalu bersikap sederhana dan cenderung beribadah melebihi dari
pada mewahnya dunia. Ia sering tidak tidur malam, beribadah pada malam hari
bermuwajahah kepada Allah sehingga ibadahnya kepada Allah tidak tertandingi.
Itu semua dapat diartikan Rasulullah bersikap sederhana dalam masalah duniawi
dan bermewah-mewah dalam urusan ukhrawi.
Demikianlah hidup Rasulullah yang selalu diwarnai oleh nilai-nilai
kesederhanaan sebagai contoh dari pemimpin yang mulia dan pemimpin manusia yang
tertinggi. Hal ini bertujuan untuk membuka mata para sahabat yang melihat,
kemana dan untuk apa sebenarnya manusia itu hidup di dunia yang fana. Perbuatan
Rasulullah tersebut membuka hati keluarga para sahabatnya lebih luas dari apa
yang mereka miliki, sehingga tubuh –tubuh mereka yang kasar dapat menerima
percikan-percikan nur ilahi. Sehingga dengan demikian terciptalah manusia yang
benar-benar dapat hidup sederhana yaitu manusia yang mempunyai komitmen pada
sifat adil, akhlak yang baik, cinta sesama dan itu semua terbalut dalam sifat Rasulullah
yang sederhana.[9]
Perspektif tasawuf yang transformatif seperti itulah yang
diinginkan oleh ajaran Islam sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an serta
praktik kehidupan Rasulullah. Kegiatan kontemplatif, tahannus atau
menyendiri dalam keheningan yang dilakukan Rasulullah di Gua Hira misalnya,
dapat dilihat sebagai upaya merenungkan dan menemukan arah yang tepat tentang
ke arah mana umat ini akan dibawa. Hasil perenungan tersebut ditemukan, bahwa
umat ini harus dibawa menuju Tuhan, yakni mengamalkan ajaran Tuhan sehingga
tercapai kebahagiaan hidupnya lahir dan batin. Dengan temuan spiritualitasnya
inilah Nabi Muhammad melakukan langkah-langkah strategis yang sesuai dengan
arahan Tuhan untuk melakukan perubahan dunia. Inilah yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dan dirasakan hasilnya hingga saat ini.
Upaya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam membangun umat yang
berbasis pada visi transendental sufistik selanjutnya dilakukan oleh sufi di
abad-abad selanjutnya dengan tetap mengambil inspirasi pada ajaran yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik kehidupan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad.[10]
B.
Misi Ajaran Tasawuf
Misi ajaran tasawuf tidak jauh berbeda dengan misi ajaran Islam,
karena ajaran tasawuf merupakan salah satu dari trilogi ajaran Islam. Konsep
dasar tasawuf pada simpul rahmatan lil ‘alamin, dimana memandang bahwa
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan umat manusia adalah wajib
hukumnya. Hal inilah yang menjadi konsepsi tasawuf pada sahabat Nabi yang
pilihan, yang atsarnya jelas harus kita ikuti. Mereka membagi
kehidupannya untuk perjuangan umat, masyarakat dan negara di satu pihak, sisa
waktunya dipergunakan untuk bermujahadah dengan mengutamakan kebersihan batin
dan rohani menghadap sang ilahi.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan
tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya, makrifat sehingga merupakan jalan yang sebaik-baiknya untuk
mengenal Allah, lalu mengenal dirinya sendiri (makrokosmos dan mikrokosmos)
untuk kemudian menggabungkan iradah dan qudrah antara keduanya,
guna menuju liqa’illah, dengan intinya adalah proses zikir. Maka, tujuan
akhir ilmu tasawuf adalah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik dunia maupun
akhirat, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.
Harun Nasution menyebutkan bahwa tasawuf mempunyai tujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari benar
seseorang berada di hadirat Tuhan. Sementara tasawuf sebagai ilmu pengetahuan,
mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat
mungkin dengan Allah. Dengan kata lain tujuan sufi adalah mendekatkan diri
sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati,
bahkan ruhnya dapat bersatu dengan ruh Tuhan.
Di atas telah dikemukakan bahwa tasawuf merupakan bagian dari
syari’at Islam yang tentunya ditegakkan di atas landasan al-Qur’an, terutama
selama menyangkut perilaku sufisme. Selain itu, juga didasarkan pada atsar
Nabi, dalam sunnah dan haditsnya, yang dikuatkan oleh praktik para sahabat
terdekat dan terpercaya dari Rasul. Dasar konsepsional Qur’aniah dan sunnah itu
meliputi keadaan jiwa seorang sufi (hal) dan maqam (tingkatan
serta tahap penempuhan) seorang salik. Hal adalah kondisi sikap
(psikologis, sosiologis dan antropologis yang bersifat inner-cycle dalam
diri seorang salik yang berasal dari Allah) yang diperoleh seseorang dengan
tanpa melalui latihan.[11]
Seorang salik (penempuh jalan tasawuf) harus menjaga diri dari ghirah
(kecemburuan) Allah dan Rasul-Nya, yaitu Allah dan Rasul-Nya ghirah
ketika seorang hamba melakukan perbuatan yang dilarang dan mengabaikan
perintah Allah. Ketika Allah ghirah maka Allah memberikan hukuman yang
telah ditetapkan dalam syari’at yang dibawa oleh Rasul-Nya. Ghirah pada
hukum syari’at hukumnya adalah wajib. Seorang mukmin akan emosi dan marah
ketika melihat orang lain melanggar larangan-larangan Allah. Ia juga melawan
orang yang mencederai agama Allah atau melecehkan hukum-Nya. Dengan demikian,
ilmu tasawuf menuntut menuntut kepada mukmin agar menjaga diri dari lumbung
kemaksiatan.[12]
Berdasarkan petunjuk
al-Qur’an dan al-Sunnah, dijumpai berbagai misi yang akan dilaksanakan ajaran
Islam sebagai berikut :
Pertama, mengeluarkan manusia dari kehidupan zhulumat (gelap
gulita) kepada kehidupan yang terang benderang, sesuai dengan firman Allah
dalam surat Ibrahim ayat 1, surat al-Ahzab ayat 43 dan surat al-Hadid ayat 9.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Kegelapan pada ayat ini dapat diartikan kebodohan, karena orang yang bodoh
tidak dapat menjelaskan berbagai hal dalam kehidupan yang amat luas dan
kompleks. Sedangkan cahaya yang terang benderang dapat diartikan sebagai ilmu
pengetahuan, karena dengan ilmu pengetahuan itulah semua kejadian ataupun
peristiwa di alam ini dapat dijelaskan dengan terang benderang.
Kedua, memberantas sifat jahiliyyah, yang dimaksud dengan
jahiliyyah bukanlah orang yang bodoh, melainkan bodoh dalam arti memilih
hal-hal yang sesungguhnya bersifat sementara, relatif dan dapat binasa, bahkan
hilang sebagai hal yang prinsip dan harus dipertahankan dengan mengorbankan apa
saja. Mereka lebih memilih harta, tahta dan kasta, dari pada memilih keadilan,
kesejahteraan, kemanusiaan, keimanan dan ketakwaan yang akan menyelamatkan dan
memuliakan mereka di dunia dan akhirat.
Ketiga, menyelamatkan manusia dari tepi jurang kehancuran
disebabkan pertikaian dalam memperebutkan hal-hal yang tidak essensial, yaitu
memperebutkan harta, tahta dan kasta.
Keempat, melakukan pencerahan batin dan pikiran kepada manusia agar
sehat jiwa, akal dan jasmani.
Kelima, memperbaiki akhlak mulia. Misi ini sejalan dengan misi
perbaikan jiwa dan pola pikir sebagaimana sebelumnya. Akhlak yang mulia adalah
buah jiwa dan pola pikiran yang sehat serta hasil atau dampak dari iman, Islam
dan ihsan. Misi ini sesuai dengan hikmah diutusnya Rasulullah yaitu memperbaiki
akhlak manusia.[13]
Seseorang yang tidak mempelajari tasawuf dan tidak mengamalkan maka
harus diketahui bahwa seseorang tersebut terhijab dan lalai dari mengingat
Allah.
Dalam ajaran tasawuf, cara untuk membuka hijab dan dekat dengan
Allah, yaitu membersihkan dan mensucikan diri dari dosa lahir dan batin.[14]
C. Pengertian
Masyarakat Modern
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan
modern. Sesuai kutipan Abuddin Nata, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S
Poerwadarminta mengartikan kata “masyarakat” sebagai pergaulan hidup manusia
(himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan
yang tertentu). Sementara kata “modern” diartikan sebagai yang terbaru, secara
baru, mutakhir”. Kemudian Abuddin Nata menyimpulkan, bahwa secara harfiah kata
“masyarakat modern” dapat dimaknai dengan suatu himpunan orang yang hidup
bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat
mutakhir”[15].
Ciri-ciri Masyarakat Modern
Masih merujuk Abuddin Nata, masyarakat modern sering dikomparasikan
dengan masyarakat tradisional. Dalam hal ini Deliar Noer memberikan ciri-ciri
modern sebagai berikut:
1.
Rasional, Lebih
memprioritaskan akal fikiran daripada emosi, pekerjaan selalu dipertimbangkan
untung ruginya secara logis.
2.
Berfikir progresif untuk kepentingan masa depan, tidak hanya
memikirkan masalah yang bersifat pragmatis, tetapi melihat dampak sosialnya.
3.
Menghargai waktu. Melihat waktu sebagai hal yang sangat berharga
dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
4.
Open minded (terbuka). Mau menerima saran, masukan, baik berupa
kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun.
5.
Objektif. Melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya
untuk kehidupan bermasyarakat[16].
D. Problematika
Masyarakat Modern
Menurut Azyumardi Azra, modernitas modernisasi tidak selalu
berhasil menemui janji-janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin,
baik lahir maupum batin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti oleh globalisasi
yang kian tak terbendung memunculkan problematika yang sangat kompleks dalam
kehidupan manusia; mulai dari meningkatnya hidup materialistik, dan hedonistik,
sampai disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya[17].
Selain itu, masyarakat modern juga bersifat totaliteristik (ingin
menguasai semua aspek kehidupan), eksploris, dan hanya percaya kepada
rumus-rumus empiris saja, serta sikap hidup positivistis yang berdasarkan
kemampuan akal. Pada masyarakat yang berjiwa dan bermental seperti ini, ilmu
pengetahuan dan teknologi modern sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi
penyebab kerusakan di muka bumi, sebagaimana firman Allah Swt:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. : Ar-Rum : 41)
Secara praktis problematika masyarakat modern dapat disebutkan
sebagaimana berikut:
Penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi karena terlepas dari
spriritualitas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan menjajah
bangsa lain. Pada saat ini, paling tidak terjadi lebih dari 35 pertikaian besar
antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka
diami. Pertikaian ini terjadi dari Barat sampai Timur. Dunia menyaksikan darah
mengalir di Cekoslakia, Zaire, Rwanda, Sudan, dan Srilanka. Kebengisan manusia
modern ini masih ditambah dengan intervensi Barat di berbagai kawasan, seperti
Libya, Suria, Yaman, Irak, dan lain sebagainnya[18].
Desintegrasi ilmu pengetahuan. Adanya spesialisasi di bidang ilmu
pengetahuan, masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma tersendiri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Bila seseorang menghadapi masalah, lalu
berkonsultasi kepada teolog, ilmuwan, politisi, psikiater, dan ekonom,
misalnya, mereka akan memberi jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling
bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya membingungkan manusia[19].
Pola hubungan materialistik memilih
pergaulan atau hubungan yang saling menguntungkan secara materi. Menghalalkan
segala cara dalam mencapai tujuan mengenyampingkan nilai-nilai ajaran agama.
Kepribadian yang terpecah (split personality). Karena kehidupan
manusia modern dibentuk oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering dari
nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, akibatnya manusia menjadi pribadi
yang terpecah. Jika proses keilmuan yang berkembang tidak berada di bawah
kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan.
Dengan demikian, tidak hanya kehidupan saja yang mengalami kemerosotan, tetapi
juga tingkat kecerdasan dan moral.
Stress dan frustasi. Jika tujuan tidak tercapai, sering berputus
asa bahkan tidak jarang yang depresi.
Kehilangan harga diri dan masa depan. Jika kontrol nilai agama
telah terlepas dari kehidupan, maka manusia tidak lagi punya harga diri dan
masa depan.
Masyarakat modern mengalami kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan pengasaan simbol kekayaan,
keinginan mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap
solidaritas sosial. Hal ini didorong oleh pandangan, bahwa orang yang banyak
harta merupakan manusia unggul[20].
E.
Pengaruh Tasawuf Dalam Masyarakat Modern
Dalam kehidupan yang semakin cenderung materialistis, hedonistik
dan sekularistik seperti saat ini, banyak manusia yang merasa terasing dalam
kehidupannya. Mereka merasakan kehampaan dalam hidup, merasa tidak bermakna
serta tidak memiliki arah yang akan dituju. Akibatnya hidup mereka terombang
ambing ibarat kapal di tengah samudera yang tidak memiliki arah dan tujuan
kemana ia akan berlayar. Dalam keadaan demikian, tidak mengherankan jika tempat
hiburan, restoran, tempat rekreasi, makanan, minuman dan berbagai kemewahan
hidup diciptakan untuk mengisi kekosongan jiwa. Hal ini dapat berhasil namun
hanya sesaat saja. Setelah itu mereka kembali kepada kehampaan. Untuk mengatasi
keadaan yang demikian, maka diperlukan pegangan hidup berupa iman, takwa dan
tasawuf. Lebih dari itu, tasawuf saat ini memperoleh perhatian yang sangat
besar dan mengalami transformasi dan reformulasi penafsiran yang semakin
kontekstual dan aktual. Bertasawuf bukan lagi dipahami sebagai hidup menyendiri
dan terisolasi dari hiruk pikuk keramaian dunia. Tasawuf di masa sekarang lebih
dipahami sebagai upaya menyerap dan merasakan kehadiran keagungan Tuhan dalam
diri seseorang yang selanjutnya melahirkan sikap dan etos kerja yang semakin
tinggi yang selanjutnya digunakan sebagai spirit dalam menggerakkan berbagai
usaha dan korporate. Dengan tasawuf seseorang memiliki visi transendental yang
selanjutnya digunakan dalam menggerakkan usaha bisnis. Dengan visi tasawuf maka
kegiatan bisnis selalu diarahkan pada memberikan pelayanan yang baik kepada
manusia, berusaha menjaga mutu, tidak berani melakukan kecurangan, karena dalam
kerja merasa selalu diawasi Tuhan, yang selanjutnya ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di akhirat kelak.
Kemudian, dengan mempelajari tasawuf, diharapkan setiap orang dapat
merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, selalu memelihara, menjaga dan
menyucikan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan akhlak mulia.[21]
Selanjutnya, dalam kehidupan di era globalisasi seperti sekarang
ini, ajaran yang menekankan spiritualitas sebagaimana yang dijumpai dalam
ajaran tasawuf tersebut mulai mendapat perhatian kembali. Berbagai bahan bacaan
keagamaan yang dijumpai pada berbagai toko buku misalnya, sebagian besar
dipenuhi oleh buku-buku yang bernuansa tasawuf. Munculnya fenomena ini
menunjukkan, bahwa perasaan, pola pikir, ucapan dan perbuatan masyarakat di era
globalisasi yang didasarkan pada pandangan materialisme, hedonisme,
kapitalisme, pragmatisme dan berbagai pandangan sekuler lainnya sudah tidak
memadai lagi. Jiwa mereka tampak guncang, rapuh, mudah stres dan mudah konflik.
Jiwa mereka terbelah, tidak utuh lagi, ada yang hilang dan karenanya tidak siap
menghadapi berbagai tantangan hidup yang demikian keras dan penuh persaingan.
Mereka kini tengah berusaha menemukan kembali keutuhan jiwanya yang hilang,
yakni pemenuhan hidup yang bersifat spiritual, sebagai konsekuensi logis dari
sebuah pandangan yang benar, bahwa manusia bukan hanya terdiri dari jasmani dan
akal pikiran saja, melainkan memiliki rohani yang berasal dari hembusan
ilahiah. Rohani mereka ini telah diabaikan, dibiarkan kosong, terbengkalai dan
akibatnya mereka mudah gelisah, tegang, cemas, stres, putus asa, merasa
keterasingan dan kesendirian.[22]
Dengan demikian, dapat kita ketahui pula bahwa salah satu tujuan
tasawuf –di samping yang sudah disebutkan- adalah membawa manusia setingkat
demi setingkat menuju kepada Tuhan, seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali
dalam kitab Minhaj al-‘Abidin. Imam al-Ghazali mengemukakan ada 40
tingkat guna sampai kepada Allah, yang ke 40 tingkat itu disebut kemuliaan dan
persalinan Tuhan, yang meliputi 20 tingkat di dunia dan 20 tingkat di akhirat.
Adapun tentang 20 tingkat di dunia, kemana arah tasawuf membawa
manusia, yaitu :
1.
Manusia selalu mengingat dan menyebut Allah.
2.
Selalu bersyukur dan membesarkan Allah.
3.
Selalu mencintai Allah dan dicintai oleh sesama manusia.
4.
Selalu menjadikan Allah wakilnya dalam segala pekerjaan.
5.
Beroleh ketentraman dalam mencari rezeki karena jaminan Allah.
6.
Memperoleh pertolongan dari Allah terhadap gangguan musuh-musuhnya.
7.
Hatinya selalu menjadi tenteram dalam segala hal dengan keadaan
tidak pernah cemas dan takut.
8.
Memperoleh kemuliaan di dunia dan tidak mengharap dimuliakan oleh
manusia serta orang-orang besar lain.
9.
Tinggi hikmahnya dan terpelihara dari kecemasan.
10.
Mulia dan lapang hati.
11.
Memperoleh petunjuk yang terang benderan sehingga mudah memperoleh
ilmu dan hikmah.
12.
Terjauh dari kesusahan dan kerusuhan dunia.
13.
Membawa manusia kepada kehebatan yang dikagumi orang (namun tidak
bertujuan mencari).
14.
Dicintai sesama manusia, makhluk dan Tuhan.
15.
Memperoleh barakah dari perkataan, pribadi, pakaian dan tempatnya.
16.
Memperoleh makrifat di bumi dan lautan.
17.
Menghilangkan ketakutan terhadap binatang buas.
18.
Memperoleh kekuasaan, seolah ia memegang kunci perbendaharaan bumi
yang luas.
19.
Dapat menyampaikan segala hajat makhluk Tuhan yang lain dengan
kemegahan kepada Tuhan.
20.
Mudah terkabul doa oleh Tuhan.
Kedua puluh hal itu merupakan kejadian-kejadian yang bisa berlaku
di dunia, sementara 20 hal yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, yaitu :
1.
Mudah dan tidak takut menghadapi mati.
2.
Tetap hatinya kepada makrifat dan iman yang bisa menghilangkan
ketakutan, kecemasan, teriak dan tangis.
3.
Dianugerahi oleh Tuhan keharuman, kesenangan dan bau-bauan serta
nikmat yang berlimpah-limpah dalam kuburnya dan di hari kiamat.
4.
Kekal di dalam syurga dan selalu berhampiran dengan Tuhan yang
pemurah.
5.
Mayatnya dihormati oleh manusia dan malaikat.
6.
Terbebas dari pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kubuar, begitu pula
terbebas dari kesusahan kubur.
7.
Kubur menjadi lapang dan terang benderang.
8.
Ruhnya tenang dalam kesenangan, kesukaan dan kemuliaan.
9.
Di kala berkumpul di padang Mahsyar, memperoleh keistimewaan dan
keagungan.
10.
Bermuka putih dan bercahaya, melihat kepada Tuhannya dengan senyum
yang menggembirakan.
11.
Sentosa dan sejahtera dari kesusahan serta siksa hari kiamat.
12.
Memperoleh pengitungan hisab dan ada yang tidak di hisab sama
sekali.
13.
Menerima kitab laporan di hari kiamat dengan tangan kanan sehingga
mendapatkan pengampunan.
14.
Amal kebaikannya memberatkan timbangannya.
15.
Memperoleh kesempatan minum dari telaga haudi, telaga para Nabi.
16.
Lulus dan selamat ketika melampaui Shirat al-Mustaqim.
17.
Memperoleh syafa’at Nabi.
18.
Memperoleh kedudukan yang abadi di syurga.
19.
Memperoleh kenikmatan Tuhan yang tidak terhingga besarnya.
20.
Berjumpa dengan Tuhan.[23]
Hal tersebut di atas adalah beberapa hasil dari mempelajari ilmu
tasawuf dan mengamalkannya.
Ilmu tasawuf sangat susah untuk diamalkan di daerah perkotaan yang
penuh dengan kemewahan dan glamor kehidupan. Manusia yang tinggal di daerah
perkotaan yang berada dalam kehidupan era globalisasi yang penuh dengan
persaingan dalam memperebutkan lapangan kerja, tempat tinggal, tempat
berjualan, jalur transportasi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Di
antara mereka yang bersaing tersebut ada yang berhasil karena didukung oleh
berbagai faktor; uang, koneksi, keterampilan, pengalaman dan pendidikan dan
banyak pula yang tidak berhasil karena hanya memiliki modal nekat. Mereka yang
tersebut terakhir ini menjadi tersingkir dan selanjutnya menjadi gelisah,
cemas, stres dan frustasi dalam menghadapi kehidupan, yang akhirnya menjadi
hilang kesadaran dan akal sehatnya alisa gila. Sementara itu ada pula yang
telah berhasil mendapatkan berbagai jabatan, kedudukan dan kemewahan lainnya
menjadi sombong, lupa pada Tuhan, gemar berfoya-foya, melakukan pemborosan dan
melakukan berbagai tindakan yang dilarang Allah. Untuk menghadapi keadaan
masyarakat yang demikian itu diperlukan ajaran tasawuf.[24]
Dengan demikian, orang-orang yang hidup di perkotaan dan
bermewah-mewah sudah mulai mendekati ilmu tasawuf karena untuk menentramkan
jiwa mereka sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah masyarakat untuk
mempelajari tasawuf. Terdapat sejumlah alasan tentang sebab-sebab meningkatnya
masyarakat terhadap tasawuf, sebagai berikut :
Pertama, salah satu ciri kehidupan masyarakat modern ialah terlalu
mengandalkan akal dan fisik, atau hanya mengakui sesuatu yang tidak masuk akal
dan tampak dalam pandangan, yang selanjutnya melahirkan paham rasionalisme,
empirisme, positivisme, sekularisme, hedonisme dan pragmatisme. Paham yang
demikian sangat merugikan keutuhan manusia sebagai makhluk yang selain memiliki
panca akal dan panca indra, juga memiliki hawa nafsu, dzauq, sirr dan
lainnya. Berbagai potensi rohaniah ini sesuatu yang real yakni ada dengan
sesungguhnya, sebagaimana juga akal dan fisik. Akibat dari keadaan hidup yang
hanya mengutamakan akal dan panca indra ini, maka manusia menjadi robot dan
mesin yang kehilangan keutuhannya. Akibat dari keadaan demikian, manusia
menjadi tidak utuh, merasa terasing, kesepian, rapuh, tidak punya pilihan dan
pegangan hidup yang kukuh, yakni nilai-nilai spiritualyang berasal dari Allah.
Untuk menyelamatkan dari keadaan yang demikian perlu ajaran tasawuf.
Kedua, masyarakat modern yang bergerak dalam bidang jasa dan
industri dengan berbagai aneka ragamnya semakin memerlukan nilaii-nilai
spiritual yang dapat memberikan bekal dan pegangan yang kukuh bagi usahanya
itu. Menjadi sufi di masa modern saat ini tidak mesti dengan cara pergi bertapa
ke gunung, atau mengisolasikan diri ke tempat yang sunyi, atau membiarkan hidup
miskin dan sengsara. Pandangan tasawuf yang demikian itu kini telah diganti
dengan pandangan tasawuf yang transformatif dan integrated, yaitu nilai-nilai
tasawuf seperti kesederhanaan, kejujuran, keikhlasan, kehati-hatian, kesabaran,
keteguhan dan prinsip, kepercayaan yang teguh pada Tuhan. Keyakinan pada janji
Tuhan dan nilai-nilai ajaran tasawuf lainnya ternyata sangat dibutuhkan dalam
mengelola berbagai usaha bisnis di zaman modern.
Ketiga, ajaran selalu dekat dengan Allah, sebagaimana yang
diajarkan dalam tasawuf dan kesungguhan dalam membersihkan diri dari dosa serta
kesungguhan mencari keridhaan Allah saat ini ternyata juga digunakan dalam proses
penyembuhan berbagai penyakit. Masyarakat modern saat ini sudah mulai sadar,
bahwa di antara penyakit ada yang penyebabnya adalah karena hubungan yang tidak
baik dengan Tuhan. Oleh karena itu, proses penyembuhannya dapat dilakukan
dengan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf.
Keempat, bahwa jumlah orang yang gelisah, pikiran kacau, stres dan
gejalapenyakit kejiwaan lainnya saat ini makin banyak jumlahnya. Keadaan jiwa
yang demikian itu menyebabkan produktivitas kerjanya menurun dan ketentraman
hidup makin terancam. Masyarakat modern yang demikian itu makin membutuhkan
sentuhan ruhani dan pencerahan spiritual yang dapat mengembalikan kehidupannya
menjadi lebih nyaman, tenang, tenteram, damai dan harmonis yang selanjutnya
sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitasnya.[25]
[2] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana,
2011), hal.311.
[3] Al-maqamat
bentuk plural dari kata al-Maqam, yang dalam dunia tasawuf diartikan sebagai
prestasi religius berupa adab (etika) yang diperoleh seorang hamba sebagai
hasil jerih payahnya. Maqam setiap orang
adalah posisi di mana dia berupaya dan menyibukkan diri dengan riyadah.
Syaratnya adalah ia tidak berpindah dari suatu maqam ke maqam lain sebelum
memenuhi hukum-hukum yang ada pada maqam pertama. Maka seseorang yang tidak
mempunyai etika qana’ah maka tidak sah baginya maqam tawakkal. Orang yang tidak mempunyai etika
tawakkal maka tidak sah baginya maqam taslim. Orang yang begitu pula orang yang
tidak beretika dengan taubah maka tidak
sah beretika dengan inabah. Orang yang tidak wara’ maka tidak bisa zuhd.
Sedangkan al-ahwal adalah bentuk plural dari kata al-hal. Menurut para sufi,
al-hal dipahami sebagai kondisi yang datang di hati tanpa suatu upaya, seperti
tarb (bingung), hazn (sedih), shauq (rindu), dan semisalnya. Maka al-ahwal
merupakan pemberian Allah, sedangkan al-maqamat merupakan hasil jerih payah
manusia. Baca, Abd al-Rahim al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah (Kairo: Dar
al-Ma’arif, tt.), Juz I, hal. 153-154.
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
II, (Jakarta: UI-Press, 1979), hal.71.
[6] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op.cit,, hal.312.
[7] Muhammad Solikhin, Tradisi Sufi Dari Nabi, Op.cit, hal.18.
[8] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op.cit, hal.314.
[9] Muslim Thahiry, dkk, Wacana Pemikiran Santri Dayah Aceh, (Aceh:
BRR NAD-NIAS, PKPM Aceh dan Wacana Press, 2007), hal.391-392.
[10] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op.cit, hal.312.
[12] M. Abdul Qadir Abu Faris, Menyucikan
Jiwa, terj. Habiburrahman Saerozi,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), hal.68.
[14] Muslim Thahiry, dkk, Wacana Pemikiran Santri Dayah, Op.cit, hal.445.
[17] Azyumardi Azra, Sufisme dan “yang Modern” Kata Pengantar dalam Urban Sufism (Martin van
Bruinessen dan Julia Day Howell, ed.) (Jakarta: PPIM UIN Syarif Hidayatullah,
Penerbit Raja Grafindo Persada, Ford Foundation Jakarta Grifith University
Australia, dan ISIM, 2008), hal. iv.
[18] Akhmad Sodiq, Tasawuf: dari Kesucian diri ke Kedamaian Univesal.
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari dalam rangka Harlah NU ke 85
“Revitalisasi Sufi untuk Perdamaian Dunia, di Hotel Prime Royal, Jl. Kranggan
Surabaya, Sabtu, 2 Juli 2011, hal. 1.
try to click this https://drive.google.com/file/d/0B9EKL-RYKW9MdTNzQ3VCRVhmNzQ/edit?usp=sharing
BalasHapusLu kuliah S2 cuma buat belajar tasawwuf doang? Nulis panjang lebar nukil sana-sini tapi kering dalil. Di mana letak nilai ilmiahnya?
BalasHapus