Selasa, 28 Agustus 2012

Makruh Hukumnya Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahhud


Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1 halaman 220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat, batal sholat seseorang apabila dia menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dari Abdullah bin Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.
Dalam kitab Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk, hal ini demi ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitupula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk.Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Di antara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya di dalam sholat”.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk ketika telah terangkat demi ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi di dalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk, hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan: ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafi’kan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i)
Hadits ini mengandung syadz, karena lafazh “yuharrikuha” tidak terdapat dalam riwayat yang dibawakan oleh 22 perawi lainnya dari Wa’il bin Hujr.
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa:“Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya diriwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi (Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).
Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247: “Hadits ‘Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan’ adalah hadits maudhu’.”
Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Ad-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra. jika (melakukan) sholat, dia berisyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, “Rasullah saw. bersabda: ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan dari pada besi’.”
Jadi dalam hadits tersebut tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’ yang kemudian pandangan beliau tidak melebihi ujung telunjuknya. Jadi, ketika jari telunjuk itu telah terangkat, maka pandangan mata beralih dari tempat sujud dan melirik kepada ujung jari telunjuk atau pada tempat di jari telunjuk yang menempel padanya kuku.
Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekalipun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya.
Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan: “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling kepada riwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana).”
Al-Hafizh ibnul Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashor Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai zhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Abdullah bin Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut: “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik di situ adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits ibnu Zubair.”
Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah “illallah” ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang.
Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah saw., apabila duduk dalam shalat, beliau menjadikan telapak kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan menghamparkan telapak kaki kanannya dan meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya diatas lutut kanannya, dan berisyarat dengan jarinya (telunjuk).” [HR. Muslim no. 579; Abu Daud no. 734; an-Nasa’i no. 1270]. Hadits ini shahih.

Telah mengabarkan Mu’awiyah bin Umar, dari Zaidah bin Qudamah, dari ‘Ashim bin Kulaib telah mengabarkan ayahnya, Bahwa Wail bin Hujrin berkata, “Aku katakan sesungguhnya aku memperhatikan shalatnya Rasulullah saw., bagaimana beliau melakukan shalat… kemudian beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya diatas paha dan lutut kirinya dan menjadikan siku kanannya diatas paha kanannya kemudian beliau menggenggam jari-jemarinya dan membuat lingkaran (dengan ibu jari dan jari tengah) kemudian mengangkat telunjukknya dan aku melihat beliau menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya.” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5/170); Ahmad dalam Musnadnya (4/318); Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (3/165)]
Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy (tokoh salafy yang wafat dengan sebab kanker lidah), dalam salah satu risalahnya, telah mengupas panjang lebar tentang ke-syadz-an atau keganjilan hadits menggerak-gerakkan telunjuk yang diriwayatkan oleh Zaidah bin Qudamah, dinilai menyelisihi periwayatan 22 orang perawi yang meriwayatkan hadits serupa dari jalur ‘Ashim bin Kulaib dan mereka tidak menyebutkan kalimat “menggerak-gerakkan telunjuk”. Sementara itu, Syeikh Ahmad al-Ghumari dalam kitab Takhrij Hadits Bidayatul Mujtahid (hal. 137-140) menyebutkan 6 orang perawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib tanpa ada tambahan kalimat “menggerak-gerakkan telunjuk”. Sehingga Syeikh Muqbil dan Syeikh Ahmad al-Ghumari menilai bahwa hadits menggerak-gerakkan telunjuk ini adalah Syadz (ganjil) karena hanya Zaidah bin Qudamah yang meriwayatkan hadits tersebut dengan tambahan “menggerak-gerakkan telunjuk”. Inilah alasan bagi para pengikut Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy untuk tidak menggerak-gerakkan telunjuknya ketika tasyahud, di samping alasan bahwa isyarat yang disebutkan dalam hadits pertama diatas adalah isyarat tanpa gerakan.
Kemudian, dalam hadits Muslim diriwayatkan:
وحدثنا عبدالله بن حميد. حدثنا يونس بن محمد. حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب، عن نافع، عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان إذا قعد في التشهد وضع يده اليسرى على ركبتيه اليسرى. ووضع يده اليمنى على ركبته اليمنى. وعقد ثلاثة وخمسين. وأشار بالسبابة.
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Humaid, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hamad bin Salamah dari Ayub dari Nafi, dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah saw ketika duduk tasyahud meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya di atas lutuk kanannya dan membuat ikatan jari 53 dan berisyarat dengan jari telunjuknya. (HR. Muslim No. (580)-116)
Dalam hadits Muslim no. (580)-114 disebutkan sifat isyarat tsb adalah رفع إصبعه اليمنى (mengangkat jari telunjuk yang kanan)
وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر بن عبيدالله بن عمر عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمنى التي تلي الإبهام فدعا بها ويده اليسرى على ركبته اليسرى باسطها عليه
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ dan ‘Abdu bin Humaid (‘Abdu berkata “telah mengabarkan kepada kami” dan Ibnu Rafi’ berkata “telah menceritakan kepada kami” ‘Abdurrazaq), telah mengabarkan kepada kami Ma’mar bin ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw ketika duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangannya di atas lututnya dan mengangkat jari telunjuknya yang berada di sebelah ibu jarinya kemudian berdo’a dengannya dan tangannya yang kiri berada di atas lututnya yang kiri dengan mengembang. (HR. Muslim No. (580)-114)
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits ini.]
Hajjaj bin Muhammad, beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabit (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
Ibnu Juraij, nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). Muhammad bin ‘Ajlan, seorang rawi shoduq (jujur). ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair, kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah). ‘Abdullah bin Zubair, seorang shahabat.
Jadi, Nabi memberi isyarat dengan mengangkat telunjuk, dan bukan dengan menggerak-gerakkannya. Kata menggerak-gerakkan sendiri adalah kata yang perlu penjelasan. Apakah ia ke atas dan ke bawah, ke kanan dan ke kiri, ataukah berputar-putar.
Hadits “menggerak-gerakkan” itu mengandung syadz, yang dalam pandangan Syaikh Moqbel dapat melemahkan hadits tersebut. Sedangkan hadits mengangkat telunjuk itu shahih. Maka mengangkat telunjuk dan tidak menggerak-gerakkannya adalah kuat.
Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan. [HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud]
Sholat bukanlah ibadah biasa. Ia merupakan ibadah maghdhoh yang tauqify. Maka tidak semestinya menambahi pekerjaan di dalamnya kecuali dengan dalil yang kuat. Berisyarat dengan jari telunjuk itu asalnya tidak digerak-gerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerak-gerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu adalah dengan tidak digerak-gerakkan. Wallahu a’lam

Kisah Muallaf (Muhammad Alexander Russel Webb)


Mohammad Alexander Russel Webb (Amerika Serikat)

Diplomat, Pengarang dan Wartawan
Saya telah diminta untuk menerangkan kepada anda, mengapa saya, seorang Amerika yang dilahirkan dalam sebuah negara yang secara resmi beragama Kristen, dibesarkan dalam lingkungan yang yang mewariskan atau lebih baik dikatakan menjalankan agama Kristen Orthodox sekte Presbitarian, telah memilih dan memeluk Islam sebagai pembimbing saya?
Dengan kontan saya jawab dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, bahwa saya telah menjadikan agama ini sebagai jalan hidup saya, sebab setelah saya pelajari dalam tempo yang cukup lama, ternyata bahwa Islam adalah agama yang terbaik dan satu-satunya agama yang dapat mencukupi kebutuhan rohani ummat manusia.
Dan saya ingin menyatakan di sini, bahwa saya tidak lahir seperti anak-anak yang lain, yang memiliki semangat keagamaan. Pada waktu saya mencapai usia 20 tahun dan praktis telah dapat menguasai diri sendiri, dada saya serasa sempit melihat kebekuan Gereja yang sangat menyedihkan, sehingga saya bertekad untuk meninggalkannya untuk selama-lamanya. Untunglah bahwa waktu itu saya mempunyai cara berpikir yang mendalam. Saya selalu berusaha untuk menemukan sebab dari segala sesuatu. Ternyata bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan para ahli pengetahuan dan ahli-ahli agama yang bisa memberikan kepada saya keterangan yang bisa dimengerti (rasional) tentang kepercayaan Gereja itu. Kedua golongan itu hanya mengatakan kepada saya bahwa persoalan ini termasuk misterius (pelik dan samar), atau dikatakan bahwa soal itu di luar kemampuan saya berpikir.
Sebelas tahun yang lalu, saya tertarik untuk mempelajari agama-agama Timur. Saya telah membaca buku-buku yang ditulis oleh Mill, Kant, Locke, Hegel, Fichte, Huxley dan lain-lain penulis ternama yang menerangkan dengan penampilan ilmu pengetahuan yang besar tentang protoplasma (unsur-unsur atom dalam pembentukan jasad makhutk yang hidup) dan monad (bagian-bagian atom dalam hewan yang hidup). Akan tetapi tidak ada seorangpun dari mereka yang bisa menerangkan kepada saya, tentang apakah jiwa/roh itu dan bagaimana atau dimana roh itu sesudah mati?
Saya telah banyak berbicara tentang diri saya, dengan maksud untuk menjelaskan bahwa saya masuk Islam bukan hasil pemikiran dan perasaan yang salah, bukan turut-turutan buta, dan bukan dorongan emosi. Akan tetapi adalah hasil penelitian dan pelajaran yang sungguh-sungguh, jujur, tekun dan bebas disertai penyelidikan serta keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengetahui kebenaran.
Inti akidah Islam yang murni, ialah menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan, dan tanda penjelmaannya ialah ibadat sembahyang. Islam mengajak kepada persaudaraan dan kecintaan ummat manusia sedunia, dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Islam juga menuntut kejernihan akal, kebaikan amal/perbuatan dan kebenaran dalam kata-kata, bahkan Islam mengajak ke dalam kesucian dan kebersihan badan.
Agama ini, tidak diragukan, adalah agama yang paling mudah dan paling mampu mengangkat derajat kemanusiaan.

Tentang Pengarang : Mohammad Alexander Russel Webb

Beliau dilahirkan di Hudson, Columbia, New York dan belajar di Hudson dan New York. Beliau terkenal dengan tulisan cerita pendeknya. Kemudian beliau bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Majalah "St. Joseph Gazette" dan "Missouri Republican." Pada tahun 1887 diangkat menjadi konsul Amerika Serikat di Manila.
Selama menjalankan tugas itulah beliau mempelajari Islam dan menggabungkan dirinya dalam lingkungan kaum muslimin.
Setelah menjadi muslim, beliau mengadakan perjalanan keliling dunia Islam, dan sampai akhir hayatnya beliau mencurahkan waktu untuk melaksanakan misi Islam, dan duduk sebagai pimpinan Islamic Propaganda Mission di Amerika Serikat.
Meninggal dunia pada awal Oktober tahun 1916.

NAMA – NAMA KELOMPOK SIFAT YANG 20

NAMA DIRINYA :                                                     NAMA KELOMPOK:
  1. AL WUJUD                                                                             ( NAFSIYYAH )
  2. AL QIDAM
  3. AL BAQA’
  4. AL MUKHALAFAH                                                                ( SALBIYYAH )
  5. AL QIYAMUHU BI NAFSIH
  6. AL WAHDANIYYAH
  7. AL QUDRAH
  8. AL IRADAH
  9. AL ‘ILMU
10. AL HAYYAH                                                                              ( MA’ANIY )
11. AL SAMA’
12. AL BASHAR
13. AL KALAM
14. QADIRUN
15. MURIDUN
16. ‘ALIMIUN
17. HAYYUN                                                                                   ( MA’NAWIYYAH )
18. SAMI’UN
19. BASHIRUN
20. MUTAKALLIMUN

PANCARAN SIFAT ISTIGHNA’

                                                                                                       1. WUJUD
                                                                                                       2. QIDAM
                                                                                                       3. BAQA’
                                                                                                       4. MUKHALAFA…..
ISTIGHNA'  
                                                                                                       5. QIYAMUHU…….
                                                                                                       6. SAMA’
                                                                                                       7. BASHAR
                                                                                                       8. KALAM
                                                                                                       9. SAMI’UN
                                                                                                      10. BASHIRUN
                                                                                                      11. MUTAKALLIMUN



PANCARAN SIFAT IFTIQAR

                                                                                                      1.WAHDANIYYAH
                                                                                                      2. QUDRAH
                                                                                                      3. IRADAH
IFTIQAR  
                                                                                                      4. ‘ILMU
                                                                                                      5. HAYYAH
                                                                                                      6. QADIRUN
                                                                                                      7. MURIDUN
                                                                                                      8. ‘ALIMUN
                                                                                                      9. HAYYUN

Senin, 27 Agustus 2012

Tingkatan Jiwa Dalam Mendapatkan Ilmu


Ketahuilah bahawa ilmu-ilmu adalah terhunjam dalam seluruh jiwa manusia dan semuanya sesuai untuk menerima seluruh ilmu. Kalau suatu jiwa itu terluput dari mendapat habuannya, tidak lain hanya kerana suatu sebab yang mendatang, menimpa ke atasnya dari luar. Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang bermaksud:
"Dijadikan manusia dalam keadaan suci, kemudian dirosakkan mereka oleh syaitan-syaitan". dan sabdanya lagi yang bermaksud:
"Tiap-tiap yang dilahirkan adalah dilahirkan dalam keadaan semulajadi".

Jiwa berakal(Al-Nafsul Naathoqah) manusia memang layak untuk menerima pencaran jiwa keseluruhan(Al-Nafsul Kulliyah) di atasnya dan bersedia untuk menerima gambaran-gambaran yang dapat difahami oleh aqal(Ma'quulah) dengan kekuatan kesucian aslinya dan kemurniaannya yang asal. Tetapi sebahagiannya menderita sakit dalam dalam dunia ini diserang oleh berbagai penyakit yang menyebabkan tiada dapat mencapai hakikat-hakikat, manakala sebahagiannya masih dalam keadaan kesihatan yang asal tanpa sakit dan rosak dan sentiasa bersedia(untuk menerima ilmu) selagi masih hidup.

Jiwa-jiwa yang sehat ialah jiwa-jiwa Kenabian(Al-Nufus Al-Nubuwiyah) yang bersedia untuk menerima wahyu dan bantuan(pertolongann atau penguatan dari Allah), berkuasa untuk melaksanakan penyelongkaran dalam Ilmu kejadian dan kebinasaan, kerana jiwa-jiwa itu adalah kekal dalam kesihatan aslinya dan tidak berubah Mazrajnya oleh bencana penyakit. Oleh itu Ambiya' adalah menjadi para doktor-doktor jiwa dan menjadi para penyeru makhluq supaya menyucikan semulajadi mereka.

Ada pun jiwa-jiwa yang sakit dalam dunia yang hina ini terdiri dari beberapa tingkat:
1. Jiwa-jiwa yang sedikit sahaja dikesani oleh penyakit yang menimpa dan sedikit sahaja awan kelupaan menyeliputi lintasan-lintasan fikiran mereka. Mereka berusaha dalam pengajian dan mencari kesihatan asli. Dengan ini hilanglah penyakit mereka dengan pengubatan yang mudah. Tersingkaplah awan kelupaan mereka dengan hanya sedikit pengajian sahaja.
2. Jiwa-jiwa yang belajar sepanjang usia dan berusaha dalam pengajian itu. Mereka mencari kesihatan asli, maka hilanglah penyakit itu dengan pengubatan yang mudah dan tersingkaplah awan kelupaan mereka dengan hanya sedikit pengingatan.
3. Jiwa-jiwa yang belajar sepanjang usia, berusaha mendapatkan ilmu dan membetulkan dalam seluruh zaman mereka, sedangkan mereka tidak faham sedikit pun kerana rosak mazraj mereka, sebab mazraj ini bila rosak tidak akan dapat diubati lagi.
4. Jiwa yang mengingat dan lupa, cuba melatihkan diri (dengan beramal untuk mengembalikan ingatan itu) tetapi tiada berdaya. Mereka hanya mendapat Nur yang sedikit dan pancaran yang malap.

Perbedaan-perbedaan ini timbul dari pengarahan jiwa-jiwa itu terhadap dunia dan tenggelam di dalam dunia ini menurut kuat dan lemahnya seperti orang sihat bila ia sakit dan orang sakit bila ia sihat. Bila masalah ini telah terurai, akan timbullah jiwa-jiwa itu dengan Ilmu Laduni dan akan mengetahui bahawa mereka memang Alim(mengetahui) pada awal semula jadinya dan murni pada permulaan ciptaannya. Sedangkan mereka menjadi jahil itu adalah kerana sakit yang dideritai ketika bersama dengan jasad yang tebal ini dan ketika tinggal dalam rumah yang kotor dan tempat yanng gelap.
Bahawa jiwa-jiwa itu belajar untuk mendapatkan ilmu yang tidak ada, bukanlah menciptakan aqal yang luput, malah belajar itu adalah merupakan usaha jiwa-jiwa tersebut untuk mengembalikan ilmu asal lagi instintif (berdasarkan naluri bukan dihasilkan oleh taakulan atau ajaran) dan menghilangkan penyakit yang timbul dari pengarahan jiwa-jiwa itu kepada kekotoran jasad dan segala yang berhubung dengan kepentingan jasad.

Seorang bapa yang pengasih lagi penyayang kepada anaknya, bila ia mengarahkan perhatiannya kepada soal menjaga anak sahaja, ia akan lupa segala urusan yang lain dan masanya penuh dengan soal membicarakan anak sahaja. Begitu juga jiwa, kerana terlampau memperhitungkan kepentingan kerangka(jasad) ini dan tenggelam di dalam lautan tabiat dengan sebab lemah dan pengasingannya. Ia memerlukan pelajaran sepanjang usianya untuk mengingatkan kembali apa yang telah dilupakan dan untuk mendapatkan semula apa yang telah luput. Pengajian ini tidak lain dari hanya pengembalian jiwa kepada jauharnya dan pencungkilan apa yang berada dalam hati nurani kepada tindakan untuk menyempurnakan zatnya dan mencapai kebahagiannya.
Bila suatu jiwa telah lemah dan tidak dapat kembali kepada hakikat Jauhariahnya, hendaklah ia berguru pada seorang yang pengasih lagi Alim dan memohon pertolongan daripadanya supaya ia menolong dalam mencapai cita-citanya, seperti seorang sakit yang tidak tahu cara mengubati penyakitnya sedangkan ia berusaha menyembuhkannya. Ia terus menemui doktor yang pengasih, menerangkan hal dirinya dan meminta supaya mengubatinya.
Kita pernah menyaksikan seorang Alim menderita suatu penyakit yang tertentu seperti sakit kepala dan dada, menyebabkan lari ilmu dari jiwanya. Ia lupakan segala maklumatnya dann ingatannya terhadap segala apa yang didapatinya dulu menjadi keliru dan tertutup. Bila ia sihat kembali, hilanglah lupanya itu dan kembalilah jiwa mengingati maklumatnya, lalu teringatlah semula apa yang telah dilupainya semasa sakit.

Dari sini kita dapat mengetahui bahawa ilmu-ilmu itu tidaklah binasa, sebenarnya ia dilupakan. Perbedaan antara "Mahwun" artinya "sapu" dan "Nasyan" ertinya "lupa" ialah sapu itu artinya binasa ukiran-ukiran dan tulisan-tulisan, manakala lupa ialah kekeliruan di antara ukiran-ukiran dan tulisan-tulisan itu. Seperti awan yang mendung atau awan yang menutup sinar matahari dari pandangan orang bukan seperti jatuh matahari yang ertinya perpindahan matahari dari atas bumi menuju ke bawah bumi.
Perhatian penuh jiwa dalam pengajian bermakna menghilangkan penyakit dari jauhar jiwa supaya ia kembali kepada apa yang telah diketahui pada awal-awal semulajadi dan telah dikenalinya pada awal kesuciannya.
Bila anda telah mengetahui sebab dan maksud pengajian dan hakikat jiwa dan jauharnya, maka ketahuilah bahawa jiwa yang sakit adalah memerlukan pengajian dan pengorbanan usia dalam mendapatkan ilmu-ilmu. Ada pun jiwa yang kurang sakit dan sedikit sahaja penyakitnya, kecil merbahayanya, tipis awan mendungnya, sedangkan mazrajnya sihat; maka ia tidak memerlukan penambahan pengajian dan kepenatan yang lanjut. Malah dengan sedikit Nazhor(Tilik) dan fikir sudah cukup untuk memulihkan kembali asalnya, sampai kepada permulaan dan hakikatnya, melihat rahsia-rahsia jiwa dan mencungkil apa yang ada di dalam dari kekuatan kepada tindakan serta menjadikan apa yang tersembunyi di dalamnya sebagai pakaian untuknya.
Dengan ini lengkaplah dia dan sempurnalah keadaannya. Ia mengetahui banyak perkara dalam waktu yang singkat dan menggambarkan maklumat dengan teratur baik. Ia menjadi Alim(mengetahui), sempurna lagi dicekapi (Mutakallimah: maksudnya dicapai dari sebelah hijab atau dengan kata lain, mendengar suara dari Alam Hakikat atau Alam Ketuhanan tingkat Wahidiah atau Al-Aqlul Kulli yang memberikan ajaran-ajaran).
Ia mengambil cahaya dari pengarahan terhadap Jiwa-Jiwa keseluruhan (Al-Nafsul Kuliyyah) dan Jiwa-Jiwa Keseluruhan ini pula melimpahkan cahayanya ke atas Jiwa Bahagian (Al-Nafsul Juz'ie). Kedua-dua jiwa ini hampir serupa keadaan dipandang dari segi kerinduan kepada asal. Ia(jiwa-jiwa yang kurang sakit) memutuskan urat-urat dengki dan umbi dendam dan meninggalkan keutamaan dan perhiasan-perhiasan dunia. Bila jiwa-jiwa telah sampai kepada tingkat ini, sesungguhnya ia telah mengetahui, selamat dan berjaya. Inilah yang dikehendaki untuk semua orang.

Harap dirujuk kembali kepada orang yang ahli dalam bidang ini

Risalah Lidduniyyah : Imam Ghazali
ditulis dengan bahasa melayu


Cara Mendapatkan Ilmu


Jalan Yang Pertama
Jalan pertama adalah jalan yang termaklum dan saluran yang dapat dirasa, diakui oleh sekelian ahli akal.
Adapun Pengajian Rabbani terbahagi kepada dua bahagian iaitu;
  • Mendapatkan ilmu dengan pengajian dan;
  • Mendapatkan ilmu dari dalam iaitu dengan memenuhkan masa dengan berfikir.
Berfikir dari batin sama dengan pengajian pada lahir.
Pergajian adalah pengambilan faedah seorang peribadi(Al-Syakhos) dari seorang peribadi bahagian(Al-Syakahosul-Juz'ii) manakala
Berfikir adalah pengambilan faedah suatu Jiwa(Al-Nafs) dari Jiwa Keseluruhan (Al-Nafsul-Kulli). Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul-Kulli) lebih kuat kesannya dan lebih kuat pengajarannya dari sekelian ulama-ulama dan para ahli akal.
Ilmu-ilmu adalah terhunjam dalam umbi sekelian jiwa secara kekuatan, seperti benih dalam bumi dan seperti geliga pada dasar lautan atau dalam benda galian.
Pengajian ialah menuntut keluar sesuatu dari kekuatan kepada tindakan(Minal Quwwati Ila Fi'li) dan Mengajar ialah mengeluarkan sesuatu itu dari kekuatan kepada tindakan.
Maka jiwa pelajar adalah serupa dengan jiwa pengajar dan hampir di antara keduanya dalam nisbah; seorang Alim dipandang dari segi memberi faedah seperti seorang petani dan seorang pelajar pula dari segi mengambil faedah seperti tanah dan ilmu yang mana adalah ketika dalam kekuatan adalah seperti benih dan ketika dalam tindakan adalah seperti tumbuh-tumbuhan. Bila sempurna jiwa pelajar, ia menjadi sebagai pokok yang berbuah atau seperti geliga yang keluar dari dasar lautan.
Bila kekuatan-kekuatan badaniah dapat menguasai jiwa, pelajar itu perlu menimbakan pengajiannya, memperlanjutkan waktu, memikul kesulitan-kesulitan, kepenatan dan berusaha dalam mencari faedah. Bila Nur Akal menguasai atasa sifat-sifat perasaan, seorang penuntut tidak memerlukan pengajian yang banyak. Hanya dengan sedikit berfikir atau sesaat berfikir ia mendapat faedah-faedah yang tiada didapati oleh jiwa yang kaku dengan pengajian selama setahun. Oleh itu setengah orang mendapat ilmu-ilmu dengan pengajian dan setengah pula dengan berfikir.
Pengajian memerlukan pula kepada berfikir, kerana manusia tiada dapat mempelajari segala sesuatu baik berupa bahagian-bahagian dan keseluruhan-keseluruhan, juga tidak dapat mempelajari semua maklumat, bahkan sebahagiannya is dapat dengan pengajaian dan sebahgiannya pula didapati dengan berfikir. Kebanyakan ilmu-ilmu teorikal dan ilmu-ilmu teknikal diruntun keluar oleh jiwa-jiwa para Hukama'(bijak pandai) dengan
  • kemurnian zihin
  • kekuatan fikiran dan
  • ketajaman agakan mereka dengan tidak menambahkan pengajian.
Andaikata manusia tidak menghasilkan sesuatu menerusi berfikir dari maklumat pertama nescaya pincanglah masa untuk manusia(bagi mendapatkan sesuatu) dan nescaya tidak akan hilang kegelapan kejahilan dari Qalbu-qalbu manusia; kerana jiwa tiada berkuasa mengetahui seluruh persoalannya sendiri baik yang berupa bahagian atau keseluruhan menerusi pengajian; malah sebahagiannya ia dapati dengan pengajian dan sebahagiannya pula ditarik keluar dari hati nurani dengan kemurnian fikiran.
Inilah cara yang biasa terjadi di kalangan para ulama dan cara inilah yang menimbulkan kaedah-kaedah segala ilmu hingga seorang arkitek tidaklah belajar seluruh apa yang diperluinya dalam sepanjang usiannya, malah ia belajar garisan-garisan kasar ilmunya dan kandungan-kandungannya; kemudian ia menarik keluar(sesuatu) dan mengqiaskan(menghubungkan) antara satu dengan yang lain. Begitu juga seorang doktor tidak dapat belajar penyakit-penyakit setiap orang dengan perinciannya, juga tidak boleh belajar tentang ubat-ubat untuk mereka; malah ia berfikir tentang maklumat secara umum dan menyelaraskan dengan tiap-tiap seorang menurut keadaan tubuhnya. Juga seorang ahli nujum, ia hanya belajar ilmu nujum secara umum sahaja, kemudian ia berfikir dan memberikan bermacam-macam ketetapan.
Begitu juga ahli feqah dan seorang sasterawan dan seterusnya begitu juga yang terjadi dalam kalangan para pereka barang-barang perusahaan, seorang pembuat alat bunyian iaitu gambus dapat mereka(mencipta) dengan fikirannya, manakala yang lain menghasilkan dari alat itu suatu alat yang lain pula. Begitu juga seluruh barang-barang perusahaan; baik untuk keperluan badan atau untuk keperluan jiwa pada mulanya didapati menerusi pengajian dan buat seterusnya dia dapati menerusi fikiran. Apabila terbukalah pintu fikiran pada jiwa, ketahuilah dia cara jalan berfikir dan cara menggunakan agakan untuk mencapai tujuan. Maka Qalbu seseorang menjadi lega dan terbukalah mata dalammnya, lalu keluar apa yang ada di dalam jiwanya dari kekuatan kepada tindakan tanpa penambahan usaha pencarian dan kepenatan yang berlanjutan.
Jalan Yang Kedua.
Pengajian Rabbani terbahagi kepada dua bahagia iaitu;
1. Yang Pertama : Pencampakan Wahyu.
Jiwa itu bila telah sempurna zatnya,
  • maka hilanglah kekotoran-kekotoran tabiat dan kecemaran loba dan angan-angan.
  • Terpisahlah pandangan daripada syahwat keduniaan,
  • putus hubungan dari cita-cita yang tidak abadi,
  • mengarahkan mukanya kepada pencipta dan penjadiNya,
  • bergantung kepada kemurahan penciptaan dan
  • berpegang pada kurniaan faedah daripadaNya dan limpahan NurNya.
Manakala Allah Taala pula
  • dengan keelokkan 'InayahNya mengarahkan kepada jiwa itu secara keseluruhan,
  • memandang kepadanya secara pandangan Ilahi dan
  • menjadikan sebagai Luh,
  • menjadikan Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul Kulli) sebagai Qalam dan
  • menuliskan pada Luh itu seluruh ilmu,
ketika ini Akal Keselurahan (Al-'Aqlu Kulli) menjadi sebagai guru dan Jiwa Suci (Al-Nafsul Qudsiah)[Jiwa suci ialah Jiwa Kenabian yang telah sempurna zatnya] sebagai pelajar, lalu terdapatlah semua ilmu pada jiwa itu dan terukir padanya seluruh rupa tanpa pengajian dan fikiran. Ini dibuktikan kebenarannya oleh firman Allah Taala kepada Nabi SAW. yang bermaksud;
Dan Ia(Allah) telah mengajarkan engkau apa yang engkau tidak tahu. (Surah Al-Nisaa';113)
Oleh itu ilmu para Nabi lebih mulia tingkatannya dari ilmu seluruh makhluk, kerana ia didapati terus dari Allah Taala tanpa perantaraan atau wasilah.
Ini dapat dlihat contohnya dari kisah kisah Nabi Adam AS. dan malaikat, Malaikat adalah belajar sepanjang usia mereka dan menerusi berbagai jalan mereka mendapat banyak ilmu hingga mereka menjadi makhluk yang paling mengetahui, sedangkan Adam AS. tidaklah Alim, kerana ia tidak pernah belajar dan tidak pernah menemui seorang guru. Para malaikat melahirkan kesombongan dan takbur mereka dengan berkata;
"Padahal kami bertasbih dengan memuji-mujiMu dan memuliakanMu(Allah)" {Surah Al-Baqarah;30}.
dan berkata bahawa kami mengetahui hakikat-hakikat segala suatu. Maka Adam AS. pun kembali kepada penciptanya, mengeluarkan Qalbunya dari sifat-sifat makhluk dan mengarahklan permintaan tolongnya kepada Allah Taala, lalu Allah mengajarkannya seluruh Nama;
"Kemudian Ia bentangkan tanda-tanda itu kepada malaikat seraya berfirman: Beritahulah kepadaKu nama-nama benda ini jika kamu adalah benar!" {Surah Al-Baqarah;31}.
Maka malaikat pun merasa kecil di samping Adam, merasa kurang ilmu mereka dan pecahlah kepala kesombongan mereka lalu karam dalam lautan kelemahan;
"Mereka berkata Maha Suci Engkau tidak ada ilmu kami melainkan apa yang telah diajarkan kepada kami" {Surah Al-Baqarah; 32}.
Allah berfirman lagi dengan maksud;
"Hai Adam!.. beritahulah mereka (malaikat) nama-nama benda itu". {Surah Al-Baqarah;33).
Adam AS pun memberitahu kepada mereka beberapa ilmu yang terpendam dan beberapa perkara yang tersembunyi.
Dari ini jelaslah bagi orang-orang yang berakal bahawa Ilmu Ghoibi yang tercetus dari jiwa ialah lebih kuat dan lebih sempurna dari ilmu-ilmu yang didapati dengan usaha(Al-Uluumul Maktasabah). Ilmu Wahyu ini menjadi pesaka Nabi-Nabi dan kepunyaan Rasul-Rasul. Allah telah menutup pintu wahyu ini sejak dari zaman penghulu kita Nabi Muhammad SAW. Ia adalah Rasul Allah SAW. dan Nabi yang penghabisan. Ia adalah manusia yang paling mengetahui, orang Arab dan 'Ajam yang paling fasih. Nabi SAW pernah bersabda yang bemaksud;
"Akulah yang paling tahu di antara kamu dan yang paling takutkan Allah Taala".
Ilmunya lebih sempurna, lebih mulia dan lebih kuat, kerana ia dapati ilmu ini dari Pengajaran Rabbani dan ia tiada sekali-kali berkecimpung dalam Pengajian dan Pengajaran Insani. Allah Taala berfirman dengan maksudnya;
"Ia telah diajar oleh kekuatannya bersangatan". {Surah Al-Najm;05}.
2. Yang Kedua : Ilham.
Ilham ialah pemberitahuan oleh Jiwa Keseluruhan (Al-Nafsul Kulliah) kepada Jiwa Bahagian (Al-Nafsul Juz'iyah) manusia menurut kadar kemurnian, penerimaan dan kekuatan persediaan.
Ilham adalah kesan Wahyu. Wahyu adalah penerangan Urusan Ghoibi manakala Ilham ialah pemaparannya. Ilmu yang didapati menerusi Ilham dinamakan Ilmu Laduni.
Ilmu Laduni ialah ilmu yang tidak ada perantaraan dalam mendapatkannya di antara jiwa dan Allah Taala. Ia adalah seperti cahaya yang datang dari lampu Qhaib jatuh ke atas Qalbu yang bersih, kosong lagi halus(Lathif). Terjadinya demikian kerana ilmu-ilmu seluruhnya adalah terterap lagi dimaklumi dalam Jauhar Jiwa Keseluruhan Yang Pertama(Jauharul Nafsul Kulliyatul Uula) yang mana beradanya(jauhar ini) dalam jauhar-jauhar Abstrak Yang Pertama Lagi Mutlak (All-Jawaahirul Mujarridatul Awwaliyatul Mahdhoh) dinisbahkan kepada Akal Pertama(Al-Aqlu Awal) adalah serupa dengan nisbah Hawa kepada Adam AS.
Sesungguhnya telah nyata bahawa Akal Keseluruhan(Al-Aqlul Kulli) adalah lebih mulia, lebih sempurna, lebih kuat dan lebih hampir dengan Allah Taala daripada Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul Kulliyah) adalah lebih teguh, lebih halus dan lebih mulia daripada seluruh makhluk. Dari limpahan Akal Keseluruhan tercetusnya Ilham. Wahyu adalah pakaian Nabi-Nabi dan Ilham adalah hiasan Wali-Wali.
Mengenai Ilmu Wahyu(Ilmu Nabawi) pula sebagaimana Jiwa bukannya Akal, orang Wali bukannya Nabi, maka begitu juga Ilham bukannya Wahyu. Ilham adalah lemah dibandingkan dengan Wahyu, tetapi lebih kuat dibandingkan dengan mimpi-mimpi(mimpi yang benar), sedangkan ilmu(Ilham atau Ilmu Laduni) adalah ilmu Nabi-Nabi dan Wali-Wali.
Adapun Ilmu Wahyu hanya khas untuk Rasul-Rasul, terbatas setakat mereka sahaja seperti Ilmu Nabi Adam dan Nabi Musa AS., Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW. dan Rasul-Rasul yang lain. Perbezaan di antara "Kerasulan" dan "Kenabian" terletak pada bahawa
  • "Kenabian" itu ialah penerimaan jiwa suci akan hakikat-hakikat maklumat dan ma'quulah dari Jauhar Akal Yang Pertama dan
  • "Kerasulan" ialah menyampaikan maklumat dan ma'quulat itu kepada orang-orang yang mahu mengambil faedah dan yang mahu menerimanya.
Kadang-kadang ada persesuaian untuk menerima pada jiwa seseorang, tetapi tidak mungkin hendak disampaikan kerana ada halangan atau sebab yang tertentu.
Ilmu Laduni adalah untuk ahli Kenabian dan Kewalian bersama, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Khaidir AS. Hal ini ada tersebut dalam firmanNya yang bermaksud;
"Dan Kami telah ajarkan ilmu dari sisi Kami". {Surah Al-Kahfi;65}
Berkata Amir Mukminin Ali bin Abi Talib Karramallaha Wajhu ;
"Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutku(mengunci mulutku) lalu terbuka dalam Qalbuku seribu pintu ilmu, tiap-tiap pintu terdapat seribu pintu pula", seterusnya ia berkata, "Andaikan disuratkan kepadaku suatu bantal dan kududuk di atasnya nescaya ku dapat menghukumkan ahli Taurat dengan Taurat mereka dan ahli Injil dengan Injil mereka dan ahli al-Qur'an dengan Qur'an mereka".
Ini adalah tingkat yang tiada dapat dicapai dengan Pengajian Insani semata-mata malah dapat dicapai dengan kekuatan Ilmu Laduni. Berkata lagi Sayyidina Ali lagi dalam menceritakan tentang Kitab Taurat Nabi Musa AS., bahawa syarah kitab ibi dapat dibawa dengan empat puluh ekor unta, katanya;
Jika diizinkan Allah mensyarahkan makna-makna Surah Al-Fatihah(sahaja) nescaya aku dapat melaksanakannya hingga sampai seperti itu juga". ertinya 40 bebanan unta.
Kebanyakan, keluasan dan kebukaan dalam ilmu ini tdak terjadi, melainkan ilmu itu adalah Laduni, Ilahi lagi tinggi.
Bila Allah hendak menjadikan hambanya seseorang yang baik, Ia(Allah) menyingkapkan hijab di antara ZatNya dan jiwa yang menjadi Luh, lalu lahirlah pada jiwa itu sebahagian dari rahsia-rahsia yang terpendam dan tertulis makna-makna segala rahsia yang terpendam ini. Dengan ini dapatlah jiwanya mengucapkan rahsia-rahsia yang terpendam ini menurut kehendak kepada sesiapa yang dikehendakinya
Hakikat hikmah adalah diambil dari Ilmu Laduni, selagi seseorang itu tidak sampai kepada tingkat ini, tidak dpat dianggap sebagai seseorang yang HAKIM, kerana hikmah adalah dari kurniaan Allah Taala sebagaimana firmanNya dalam Surah Al-Baqarah;269 yang bermaksud;
"IA(Allah) mengurniakan hikmah kepada sesiapa yang dikehendaki dan sesiapa yang dikurnia hikmah maka sesungguhnya(bererti) ia telah dikurniakan kebajikan yang banyak dan tidak akan ingat melainkan orang-orang yang berfikiran".
Ini adalah kerana orang-orang yang sampai kepada tingkat Ilmu Laduni tidak memerlukan penumpahan tenaga yang banyak untuk mendapatkan ilmu dan tidak penat dalam pengajian. Mereka belajar sedikit dan mengetahui banyak, berpenat sedikit dan beritirahat banyak.
Ketahuilah bila Wahyu itu telah terhenti dan pintu Kerasulan telah ditutup, manusia tidak perlu lagi kepada rasul-rasul dan menyebarkan agama baru., kerana segala yang berhubung dengan agama telah lengkap sempurna sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah;37 yang bermaksud;
:"Hari ini aku sempurnakan agama kamu untuk mu"
dan tidaklah bijak menambahkan lagi faedah tanpa hajat.
Ada pun pintu Ilham tidak tertutup, perbekalan Nur Jiwa Keseluruhan(Al Nafsu Kulliah) tidaklah terhenti, kerna berlanjutan keperluan jiwa-jiwa kepada penguatan, pembaharuan dan pengingatan. Manusia tidak memerlukan rasul-rasul, tetapi kerana mereka tenggelam dalam was-was dan syahwat mereka memerlukan pengingatan dan penyedaran. Oleh itu Allah Taala mengunci pintu Wahyu dan membuka pintu Ilham sebagi rahmatNya. Ia menyiap dan menyusun segala-galanya supaya manusia tahu bahawa Allah adalah lembut dengan para hambaNya. mengurniakan rezeki kepada sesiapa yang dikehendaki tanpa hisab.

Kisah Muallaf (Dr. Umar Rolf Baron Ehrenfels)

Dr. Umar Rolf Baron Ehrenfels (Austria)

Gurubesar Antropologi
Penggugah terpenting atas kesadaran saya tentang kebenaran agama Islam, agama besar yang sangat berpengaruh atas jiwa saya, ialah bahwa Islam itu menonjol dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. Ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan berangsur-angsur itu menurut pikiran saya menunjukkan bahwa agama-agama besar keluar dari hanya satu sumber, bahwa orang-orang yang membawa ke-Rasulan besar itu hanya membawa ajaran-ajaran Tuhan yang Satu, dan bahwa beriman kepada salah satu ke-Rasulan ini berarti mencari Iman dalam Cinta kasih.
  2. Islam, pada pokoknya berarti aman atau selamat dengan cara tunduk kepada hukum yang abadi.
  3. Islam ditinjau dari sudut sejarah adalah agama besar terakhir di atas planet bumi ini.
  4. Nabi Muhammad s.a.w. adalah Rasul Islam dan mata rantai terakhir dalam rangkaian para Rasul yang membawa risalah-risalah besar.
  5. Penerimaan agama Islam dan cara hidup kaum Muslimin oleh orang yang menganut agama yang terdahulu, berarti dia melepaskan diri dari agamanya yang dahulu. Sama seperti memeluk ajaran-ajaran Budha itu berarti melepaskan diri dari ajaran-ajaran Hindu. Agama-agama yang berbeda-beda itu sebenarnya hanya buatan manusia, sedangkan kesatuan agama itu dari dan bersifat ke-Tuhanan. Ajaran-ajaran Al-Qur'an menekankan atas prinsip kesatuan ini. Dan percaya atas kesatuan agama berarti menerima satunya fakta kejiwaan yang umum diterima oleh semua orang, pria dan wanita.
  6. Jiwa persaudaraan kemanusiaan yang meliputi semua hamba Allah, selalu ditekankan oleh Islam, berbeda dengan konsep rasialisme atau sukuisme yang berdasarkan perbedaan bahasa, warna kulit, sejarah tradisional dan lain-lain dogma alami.
  7. Konsep cinta kasih kebapakan Tuhan, dengan sendirinya mengandung konsep cinta keibuan Tuhan sebagai dua prinsip gelar Tuhan Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kedua kata ini berasal dari kata "rahima" dalam bahasa Arab. Pengertian pokok simbolis ini sama dengan pengertian "Goethe's Das Ewing-Weibliche Zieht uns himan" yang arti harfiahnya ialah "rahim" (dari wanita).
Berdasarkan pengertian ini, maka Gereja Aya Shofia di Istambul telah dibangun menurut prinsip arsitek besar Muslim di Timur Dekat yang diilhami oleh bangunan Mesjid Sultan Ahmad atau Muhammad Al-Fatih di Istambul.
Dalam pengertian dan jiwa inilah Rasulullah s.a.w. bersabda dalam kata-katanya yang tidak bisa dilupakan oleh para pengikutnya:
Syurga itu di bawah telapak kaki kaum ibu.

Tentang Pengarang : Doktor Umar Rolf Baron Ehrenfels

Beliau adalah anak satu-satunya dari Alm. Baron Christian Ehrenfels, pembangun teori structure Psychology modern di Austria.
Rolf Freiherr von Ehrenfels sudah sejak masa anak-anak tertarik oleh dunia Timur umumnya, dunia Islam khususnya. Saudaranya perempuan, seorang penyair bangsa Austria, Imma von Bedmarhof telah menceritakan hal itu dalam sebuah artikelnya dalam majalah sastra Islam Lahore pada tahun 1953. Pada waktu Rolf meningkat dewasa, dia pergi ke negara-negara Balkan dan Turki, di mana dia ikut bersembahyang di mesjid-mesjid (walaupun dia masih seorang Nasrani) dan mendapat sambutan baik dari kaum Muslimin Turki, Albania, Yunani dan Yugoslavia. Sesudah itu perhatiannya terhadap Islam semakin bertambah, hingga akhirnya dia menyatakan masuk Islam pada tahun 1927 dan memilih Umar sebagai nama Islamnya. Pada tahun 1932, beliau mengunjungi anak benua India/Pakistan dan sangat tertarik oleh soal-soal kebudayaan dan sejarah yang berhubungan dengan kedudukan wanita dalam Islam. Sekembalinya di Austria, Baron mengkhususkan diri dalam mempelajari soal-soal antropologi dari Matilineal Civilisation di India. The Oxford University Press telah menerbitkan buku antropologinya yang pertama (Osmania University series, Hyderabad, Deccan 1941) mengenai topik ini.
Pada waktu Austria diduduki oleh Jerman Nazi tahun 1938, Baron Umar pergi lagi ke India, dan beker.ja di Hyderabad atas undangan alm. Sir Akbar Hydari sambil tetap mempelajari soal-soal antropologi di India Selatan dengan mendapat bantuan dari Wenner Gern Foundation New York di Assam. Sejak tahun 1949 beliau menjadi Kepala Bagian Antropologi pada University of Madras. Pada tahun itu juga beliau mendapat medali emas S.C. Roy Golden Medal atas jasa-jasanya dalam bidang Sosial and Cultural Antropology dari Royal Asiatic Society of Bengal.
Di antara sekian banyak karangan-karangannya tentang Islam dan ilmu pengetahuan, ada dua jilid buku tentang antropologi India dan dunia, "Ilm-ul-Aqwam" (Anjuman Taraqqi-Delhi 1941) dan sebuah risalah tentang suku bangsa Cochin dengan nama "Kadar of Cochin" (Madras 1952).