Makalah Ushul Fiqh III (Modern)
Disusun Oleh :
HABIBULLAH
24121518-2
Mahasiswa
Program Magister
Konsentrasi
Fiqh Modern
Unit 1 Non-Reguler
Dosen Pembimbing :
Dr. Khairuddin, MA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum merokok merupakan salah satu kontroversi yang terjadi di
dunia Islam. Setiap ulama berbeda pendapat mengenai hukum rokok dan merokok,
baik fatwa ulama independen maupun ulama yang tergabung dalam lembaga fatwa
suatu daerah ataupun negara. Umat Islam berpegang terhadap apa yang telah
difatwakan disertai dengan dalil-dalil yang dijelaskan ulama.
Hal tersebut memunculkan beberapa pertanyaan, yaitu bagaimana Islam
memandang rokok ? apakah ada dalil yang jelas dalam menetapkan hukum rokok ? Lalu
bagaimana Hukum Bagi mereka yang merokok ?
Pertanyaan ini merupakan dasar utama sebahagian orang benci
terhadap rokok. Tidak sedikit yang sangat anti dengan rokok, namun banyak juga
yang suka dengan rokok dengan dalil makruh yang tidak jatuh kedalam hukum haram
dalam merokok.
Makalah ini khusus membahas mengenai hukum rokok serta merokok
menurut kalangan ulama dalam konsep dasar hukum Islam. Nantinya diharapkan
dalam membaca makalah ini dapat memberikan pemahaman yang jelas mengenai dasar
hukum rokok itu sendiri serta penulis mengharapkan saran dan kritikan yang
bersifat membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Dan Status Rokok Dalam Pendangan Ulama
1. Menurut Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah
Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah
menyatakan, ”Pendapat para ulama mengenai masalah ini (rokok) tidaklah seragam.
Sebagian ulama berpendapat bahwa rokok hukumnya makruh; sebagian yang lain
mengharamkannya, dan sebagian yang lain memubahkannya. Masing-masing menyatakan
pendiriannya dalam karya-karya mereka.”
Masih menurut beliau, ”Di dalam Kitab Syarah al-Wahbaaniyyah karya
Imam al-Surunbulaliy , beliau menyatakan, ”Dilarang jual beli rokok dan
meminumnya (menghisapnya). Orang yang menghisap rokok di saat puasa tidak
diragukan lagi ia telah berbuka. Di dalam Syarah al-Allamah Syaikh Isma’il
al-Nablusiy, orang tua dari guru kami, ’Abd al-Ghaniy, terhadap kitab Syarah
al-Durari, disebutkan bahwa seorang suami punya hak melarang isterinya memakan
bawang putih, bawang merah, dan semua makanan yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya
guru kami, al-Musayyaraiy dan yang lainnya, memberikan fatwa larangan menghisap
tembakau.”
’Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan)
yang membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan bahwasanya
orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau bersandar kepada Imam
empat madzhab.
Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang
tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif, ’Abdul
Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat
Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam
karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang
mengharamkan atau memakruhkan tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh)
adalah hukum syariat yang harus disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada
satupun dalil yang menunjukkan hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa
tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau membahayakan (dharar). Tetapi justru
terbukti bahwa ia memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam
kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah).
Sesungguhnya beberapa dharar yang terkandung di dalamnya tidak menjadikan
keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang terkena penyakit kuning.
Seandainya Allah swt menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka
pastilah ada dalil yang menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus
dinyatakan bahwa mubah adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri)
dalam masalah pengharaman khamar sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang
yang menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy
pada dirinya….”.[1]
2. Dalam Haasyiyyah al-Bujairimiy
Di dalam Haasyiyyah al-Bujairimiy disebutkan, ”Jika penguasa
memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat kemashlahatan
bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.”[2]
Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan,
”Menghisap rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin,
shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa belakangan.
Para ulama berpendapat, pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka
mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya.
Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang memakruhkannya…”[3]
Adapun Hasanain Muhammad Makhluf menguatkan pendapat yang
memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan;
ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy.
Pendapat para fuqaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar menurut
kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa
hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang bersandar kepada imam
empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti penuturan dari
al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.”[4]
3. Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa
al-Iftaa’
Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa
al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah
al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab
rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk
ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk
mulutnya, dan untuk mencegah dharar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang
yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudhu.”[5]
Demikianlah, para fuqaha kontemporer berselisih pendapat mengenai
status hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram, makruh,
dan mubah. Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab
pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan syariat Islam terhadap
hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum derivatifnya.
B.
Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua
status hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan
manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama
tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah
SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena
sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6): 145)
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang
diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini.
Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya
sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang
diharamkan, baik yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih;
semacam binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal
dari benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Di
ayat lain, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
(Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan
adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…”.[6]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat
lain yang memiliki pengertian senada. Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat
dipahami dua hal penting.
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum
asal dari benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan”
Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan
kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.
C.
Status Hukum Rokok
1. Hukum Asal Rokok
Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau ditemukan orang pada
akhir abad ke-10 Hijriah, kemudian penggunaannya mulai menyebar luas. Kenyataan
itu mendorong para ulama berbicara menerangkan hukum-hukumnya menurut syari’at.
Karena tembakau pada masa itu baru saja dikenal, ketentuan hukum syari’atnya
tidak terdapat pada masa-masa sebelum itu. Para ulama fiqh ahli ijtihad pada
masa itu dan beberapa masa sesudahnya, tidak ada yang dalam mazhabnya (termasuk
pendiri mazhab empat) masing-masing melarang, membolehkan atau membenarkan
orang menghisap rokok.
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok
adalah benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih
yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan
seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada
konteks hukum asalnya, yakni mubah.
Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara
bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian,
produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah
lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka
produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari
bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.
‘Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan
bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan
rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan, melemahkan, atau
menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi
haram atau makruh. Oleh karena itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi
al-Asyyaa’ Ibaahah”.[7]
Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah
yang pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang
dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah,
pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah mubah…”.[8]
Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum
perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.
Pertama, jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara
pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok,
dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah
mengandung atau menimbulkan dharar (bahaya) bagi individu tertentu; dan dhararnya
bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram
dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah
mubah, bukan haram. Udang misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi,
bagi orang-orang tertentu, udang bisa mendatangkan bahaya (dharar) yang
bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram)
mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya
saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dharar
(bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda
tersebut.[9]
Oleh karena itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi
udang selama tidak menyebabkan dharar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.
Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu
Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr,
beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur
Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah
kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya
untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian buat dengan menggunakan airnya,
berikanlah kepada onta, dan janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan
janganlah seorang diantara kalian keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh
temannya.
Para shahabat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw,
kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar
untuk memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta
miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit.
Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga
terlempar di Jabalaiy Thaiyyi’.
Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda,
”Bukankah aku telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi
sendirian, kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh
sakit ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan
laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thaiyyi`
menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu
Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]
Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang
hukum asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah),
maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab,
minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur
Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak
menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat adonan roti, dikarenakan air
tersebut mengandung bahaya. Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam
sendirian, juga termasuk perkara mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para
shahabat tidak keluar pada waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan
karena bahaya (dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun
perbuatan), jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi
haram (karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah
mubah.
Kedua, Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya
ada larangan dari Nabi Muhammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau
bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan
dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah
ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR. Imam
Bukhari]
Imam
Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا
أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ
فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ
أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي
أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia
memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri
dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw
diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati
bau dari sayuran itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada
di sayuran itu. Lalu ia (perawi) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu
ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau
tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku
berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra,
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ
مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ
الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ
أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaknya
ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada
sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya,
dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi
berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau
mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah.
Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang
memakan bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena
baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw
disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya
menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini
diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh
Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ
الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung.
Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi saw
bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami.
Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam
Muslim]
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو
آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung,
janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu,
sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]
Imam
Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang
berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا
إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي
الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا
فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ
شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي
هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang
menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan bawang putih. Sungguh, dahulu aku
melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang, beliau
menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya,
hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim]
Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa
orang yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan
berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam
masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat
yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di
dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu orang lain.
Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi
mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di
atas.
Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dharar yang
bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas yang
tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah
kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan
pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat muhaqqah terwujud pada orang
tersebut, dan ia melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak
terganggu oleh asap rokok.
Beberapa ulama yang menjelaskan
tentang hukum rokok beserta argumennya seperti berikut[10]:
1. Dalil-dalil pihak yang mengharamkan
Pihak-pihak yang mengharamkan rokok mendasarkan dalil-dalilnya pada
sejumlah ketentuan hukum syara’ yang pokok-pokoknya:
1. Unsur memabukkan : Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa
tembakau mengandung unsur memabukkan, dan semua yang memabukkan adalah haram.
Menurut mereka, asap tembakau dapat mengaburkan akal pikiran, sama dengan mabuk
meskipun tidak disertai perasaan gemetar.
2.
Unsur mengurangi stamina dan melemahkan badan
Mereka mengatakan juga, jika rokok tidak dapat dikatakan mengandung
unsur yang memabukkan, yang sudah jelas mengurangi stamina dan melemahkan
badan. Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis berasal
Ummu Salamah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w:
نَهَى عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَ مُفَتِّرٍ
“ Melarang setiap yang
memabukkan dan yang melemahkan badan”
3. Rokok berbahaya
Yang
dimaksud bahaya dalam hal itu terbagi menjadi dua macam:
a) Membahayakan kesehatan badan
Rokok membuat badan penghisapnya menjadi lemah, kekuatannya
sangat berkurang, wajahnya menjadi pucat, terserang berbagai macam penyakit,
seperti saluran pernafasan, infeksi paru-paru, TBC, dan sebagainya. Semua yang
membahayakan haram di konsumsi, seperti firman Allah Swt Q.S An-Nisa’:29
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًا
“ janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Atau
dalam Q.S Al-Baqarah:195
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,”
Berdasarkan pada dalil di atas, mereka menganggap merokok dapat
membunuh diri mereka meskipun secara perlahan-lahan[11].
b) Membahayakan harta
Yang dimaksud ialah bahwa merokok sama artinya dengan
membuang-buang harta. Allah SWT dalam firman-Nya menegaskan:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Q.S Al-Israa’:26-27)
Ucapan
Rasulullah s.a.w menegaskan:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“tidak
boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
(HR. Ibnu Majah)
Jika orang mau mengakui bahwa rokok itu tidak ada manfaatnya sama
sekali, tentu ia akan mengharamkannya. Haram bukan karena penggunanya melainkan
karena perbuatannya yang membuang-buang harta.
Diantara ulama yang mengharamkan rokok adalah: Syaikhul-Islam Ahmad
As-Sanhuriy Al-Bahutiy, Syaikhul Malikiyah Ibrahim Al-Liqaniy, Sayyid ‘Umar
Al-Bashriy, ‘Isa Asy-Syahway Al-Hanafiy.
2. Alasan yang memakruhkan merokok
Pihak-pihak yang memfatwakan menghisap rokok itu makruh
mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Hukum rokok tidak memiliki dalil yang sharih baik dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits tetapi kembali kepada hukum ashal yaitu boleh. Dan
merokok mengandung bahaya yang tidak bersifat muhaqqah (pasti), walaupun
terlampau banyak dihisap. Kendati pada mulanya sedikit menghisap rokok, tetapi
akhirnya ia menjadi pecandu rokok. Apabila bahaya tersebut sudah muhaqqah pada
diri individu maka hukumnya adalah haram.
2. Mengurangi harta. Jika tidak dapat dikatakan bahwa merokok itu
perbuatan membuang-buang uang, dan pemborosan, maka sekurang-kurangnya
kebiasaan merokok mengakibatkan berkurangnya harta atau uang, tetapi pemborosan
ini tidak termasuk ke dalam kategori pemborosan yang besar.
3. Baunya yang sangat mengganggu orang lain tidak merokok. Semua
yang seperti itu adalah makruh.
4. Pada suatu ketika penghisap rokok tidak dapat memperoleh
kegemaran yang dibutuhkan. Dalam keadaan demikian ia merasa gelisah dan merana.
3.
Alasan mereka yang membolehkan orang merokok
Golongan ini berpegang pada kaidah, tembakau yang digunakan untuk
rokok tidak dikenal di masa Nabi, sehingga tidak bisa diterangkan tentang halal
dan haramnya. Tetapi segala sesuatu pada asalnya adalah mubah atau halal
kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya, atau nampak adanya bahaya yang
kemudian bisa ditetapkan hukum haramnya. Seperti firman Allah SWT Q.S
Al-Baqarah:29
“Dia-lah Allah yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
Dengan demikian, mereka mengatakan hukum awalnya mubah. Jika
sekiranya dengan merokok itu dapat menimbulkan bahaya baginya terhadap
kesehatan dirinya maka hukumnya haram. Dan jika bahaya yang ditimbulkannya
lebih sedikit maka hukumnya makruh. Merokok termasuk dalam satu pemborosan
harta yang sebaiknya tidak dibiasakan[12].
Ada pula
golongan yang membolehkan merokok beranggapan bahwa:
1.
Pohon
tembakau menurut zatnya adalah suci, tidak memabukkan, tidak berbahaya dan
tidak kotor (menjijikkan). Menurut asalnya ia adalah mubah, kemudian dikenakan
padanya hukum syara’:
2.
Penghisap
rokok yang tidak merasa terganggu badannya ataupun akal dan pikirannya, ia
boleh merokok.
3.
Orang
yang merasa terganggu badannya ataupun akal dan pikirannya karena merokok,
baginya rokok adalah haram. Sama dengan orang yang terganggu kesehatannya bila
minum madu.
4.
Orang
yang merasakan kemanfaatan merokok untuk mencegah gangguan penyakit, ia wajib
memanfaatkannya.
5.
Menurut
mereka ketentuan hukum merokok tergantung pada dampaknya. Namun jelas, mereka
berpendapat, bahwa pada dasarnya merokok adalah mubah.[13]
DAFTAR PUSTAKA
’Abdurrahman Qaraa’ah, Fatawa al-Azhar
Ahmad Syar Basyi, Himpunan Fatwa. Surabaya : al-Ikhlas. 1992
Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’
Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar ‘ala al-Durri al-Mukhtar, Dar
‘Alim al-Kutub
Imam Syaukaniy, Tafsir Fath al-Qadiir, Beirut : Dar al-Ma’rifah
Muhammad bin Ahmad al-Syarbini, Haasyiyyah
al-Bujairimiy ’Ala al-Khaathib,
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Taqiyyuddin An
Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, Ushul Fiqh, Al-Quds : Min Mansyurat Hizb
at-Tahrir. 1953
Yusuf Qardhawi,
Fatwa-Fatwa Mutakhir. Terj. Al-Hamid Al-Husaini. Jakarta : Yayasan al-Hamidy
1995
Yusuf Qardhawi, Halah Haram dalam Islam. Terj. Wahid Ahmadi.
Solo : Era Intermedia 2003
[1]
Ibnu ’Abidin, Radd
al-Muhtaar ‘ala al-Durri al-Mukhtar, juz 27, (Dar ‘Alim al-Kutub), hal. 266
[2]
Muhammad bin Ahmad al-Syarbini, Haasyiyyah
al-Bujairimiy ’Ala al-Khaathib,
juz 5, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyyah), hal. 475
[6] Imam
Syaukaniy, Tafsir Fath al-Qadiir, juz 1, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), hal. 64
[9]
Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, Ushul
Fiqh, juz 3, (Al-Quds:
Min Mansyurat Hizb at-Tahrir. 1953), hal. 459
[10]
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Mutakhir. Terj. Al-Hamid
Al-Husaini. (Jakarta: Yayasan al-Hamidy 1995), hal. 829-833
[11] Yusuf
Qardhawi, Halah Haram dalam Islam. Terj. Wahid Ahmadi. (Solo: Era
Intermedia 2003), hal. 121
[12]
Ahmad Syar Basyi, Himpunan Fatwa. (Surabaya: al-Ikhlas. 1992),
hal. 486
[13]
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Mutakhir…., hal. 833
Tidak ada komentar:
Posting Komentar