Jumhur
ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam
Hasiyah al-Bajuri jilid 1 halaman 220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu
menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh
hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan
dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan.
Tetapi menurut satu pendapat, batal sholat seseorang apabila dia
menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini
bersumber dari Abdullah bin Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam
Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan)
tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak
tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.
Imam
Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454
menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan
tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan
kekhusyuan.
Dalam
kitab Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari
telunjuk, hal ini demi ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata;
‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan
jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitupula
telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari
telunjuk.Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Di antara yang mendorong
Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya
jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan
yang senantiasa dituntut keberadaannya di dalam sholat”.
Dalam
kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk ketika telah
terangkat demi ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada
pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu
kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi di dalam tahrik tersebut ada pendapat
yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat.
Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam
kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk, hal ini berdasarkan
hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan: ‘Sunnah mentahrik jari
telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua
hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafi’kan tahrik
atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat
pada ketiadaan tahrik itu”.
Orang
yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits
riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi.
Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka
aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i)
Hadits
ini mengandung syadz, karena lafazh “yuharrikuha” tidak terdapat dalam riwayat
yang dibawakan oleh 22 perawi lainnya dari Wa’il bin Hujr.
Mereka
juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan
bahwa:“Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”.
Ini hadits dho’if karena hanya diriwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar
al-Waqidi (Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).
Ibn
‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247: “Hadits ‘Menggerak-gerakkan jari
(telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan’ adalah hadits maudhu’.”
Redaksi
hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119,
Ad-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272
dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa
Abdullah bin Umar ra. jika (melakukan) sholat, dia berisyarat dengan (salah
satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, “Rasullah saw.
bersabda: ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan dari pada besi’.”
Jadi
dalam hadits tersebut tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha
(menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’
yang kemudian pandangan beliau tidak melebihi ujung telunjuknya. Jadi, ketika
jari telunjuk itu telah terangkat, maka pandangan mata beralih dari tempat
sujud dan melirik kepada ujung jari telunjuk atau pada tempat di jari telunjuk
yang menempel padanya kuku.
Para
Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu
termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekalipun. Orang
yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang
lainnya.
Al-Hafizh
Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85
menyatakan: “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan
janganlah berpaling kepada riwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut
baliyyah (mengandung bencana).”
Al-Hafizh
ibnul Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashor Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur
dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan
itu.
Tiga
imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai zhohir
hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga
tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik
berarti menggugurkan hadits Abdullah bin Zubair dan hadits-hadits lainnya yang
menunjukkan Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Imam
Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr
sebagai berikut: “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik di
situ adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara
berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits ibnu
Zubair.”
Kesimpulan
Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang
berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam
Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada
hamzah “illallah” ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari
telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna
pendapat sebagian orang.
Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah saw., apabila duduk dalam shalat,
beliau menjadikan telapak kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan
menghamparkan telapak kaki kanannya dan meletakkan tangan kirinya diatas
lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya diatas lutut kanannya, dan
berisyarat dengan jarinya (telunjuk).” [HR. Muslim no. 579; Abu Daud no. 734;
an-Nasa’i no. 1270]. Hadits ini shahih.
Telah
mengabarkan Mu’awiyah bin Umar, dari Zaidah bin Qudamah, dari ‘Ashim bin Kulaib
telah mengabarkan ayahnya, Bahwa Wail bin Hujrin berkata, “Aku katakan
sesungguhnya aku memperhatikan shalatnya Rasulullah saw., bagaimana beliau
melakukan shalat… kemudian beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya
diatas paha dan lutut kirinya dan menjadikan siku kanannya diatas paha kanannya
kemudian beliau menggenggam jari-jemarinya dan membuat lingkaran (dengan ibu
jari dan jari tengah) kemudian mengangkat telunjukknya dan aku melihat beliau
menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya.” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya
(5/170); Ahmad dalam Musnadnya (4/318); Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (3/165)]
Syeikh
Muqbil bin Hadi al-Wad’iy (tokoh salafy yang wafat dengan sebab kanker lidah),
dalam salah satu risalahnya, telah mengupas panjang lebar tentang ke-syadz-an
atau keganjilan hadits menggerak-gerakkan telunjuk yang diriwayatkan oleh
Zaidah bin Qudamah, dinilai menyelisihi periwayatan 22 orang perawi yang meriwayatkan
hadits serupa dari jalur ‘Ashim bin Kulaib dan mereka tidak menyebutkan kalimat
“menggerak-gerakkan telunjuk”. Sementara itu, Syeikh Ahmad al-Ghumari dalam
kitab Takhrij Hadits Bidayatul Mujtahid (hal. 137-140) menyebutkan 6 orang
perawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib tanpa ada tambahan
kalimat “menggerak-gerakkan telunjuk”. Sehingga Syeikh Muqbil dan Syeikh Ahmad
al-Ghumari menilai bahwa hadits menggerak-gerakkan telunjuk ini adalah Syadz
(ganjil) karena hanya Zaidah bin Qudamah yang meriwayatkan hadits tersebut
dengan tambahan “menggerak-gerakkan telunjuk”. Inilah alasan bagi para pengikut
Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy untuk tidak menggerak-gerakkan telunjuknya
ketika tasyahud, di samping alasan bahwa isyarat yang disebutkan dalam hadits
pertama diatas adalah isyarat tanpa gerakan.
Kemudian, dalam hadits Muslim
diriwayatkan:
وحدثنا عبدالله بن حميد. حدثنا يونس بن محمد. حدثنا
حماد بن سلمة عن أيوب، عن نافع، عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم، كان إذا
قعد في التشهد وضع يده اليسرى على ركبتيه اليسرى. ووضع يده اليمنى على ركبته اليمنى. وعقد ثلاثة وخمسين.
وأشار بالسبابة.
Dan
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Humaid, telah menceritakan kepada
kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hamad bin Salamah dari
Ayub dari Nafi, dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah saw ketika duduk tasyahud
meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya
di atas lutuk kanannya dan membuat ikatan jari 53 dan berisyarat dengan jari
telunjuknya. (HR. Muslim No. (580)-116)
Dalam
hadits Muslim no. (580)-114 disebutkan sifat isyarat tsb adalah رفع إصبعه اليمنى
(mengangkat jari telunjuk yang kanan)
وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا
وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر بن عبيدالله بن عمر عن
نافع عن ابن عمر
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمنى التي تلي
الإبهام فدعا بها ويده اليسرى على ركبته اليسرى باسطها عليه
Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ dan ‘Abdu bin Humaid (‘Abdu
berkata “telah mengabarkan kepada kami” dan Ibnu Rafi’ berkata “telah
menceritakan kepada kami” ‘Abdurrazaq), telah mengabarkan kepada kami Ma’mar
bin ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw ketika
duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangannya di atas lututnya dan mengangkat
jari telunjuknya yang berada di sebelah ibu jarinya kemudian berdo’a dengannya
dan tangannya yang kiri berada di atas lututnya yang kiri dengan mengembang.
(HR. Muslim No. (580)-114)
“Sesungguhnya
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila
beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”. [Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127,
Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah
3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari
Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari
ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits ini.]
Hajjaj
bin Muhammad, beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabit (kuat) akan tetapi
mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut
tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari
beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh
Baghdad dan lain-lainnya.
Ibnu
Juraij, nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang
rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena
beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). Muhammad bin
‘Ajlan, seorang rawi shoduq (jujur). ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair, kata
Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
‘Abdullah bin Zubair, seorang shahabat.
Jadi,
Nabi memberi isyarat dengan mengangkat telunjuk, dan bukan dengan
menggerak-gerakkannya. Kata menggerak-gerakkan sendiri adalah kata yang perlu
penjelasan. Apakah ia ke atas dan ke bawah, ke kanan dan ke kiri, ataukah
berputar-putar.
Hadits
“menggerak-gerakkan” itu mengandung syadz, yang dalam pandangan Syaikh Moqbel
dapat melemahkan hadits tersebut. Sedangkan hadits mengangkat telunjuk itu
shahih. Maka mengangkat telunjuk dan tidak menggerak-gerakkannya adalah kuat.
Sesungguhnya
di dalam sholat adalah suatu kesibukan. [HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah
bin Mas'ud]
Sholat
bukanlah ibadah biasa. Ia merupakan ibadah maghdhoh yang tauqify. Maka tidak
semestinya menambahi pekerjaan di dalamnya kecuali dengan dalil yang kuat.
Berisyarat dengan jari telunjuk itu asalnya tidak digerak-gerakkan sampai ada
dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan
digerak-gerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan
menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat
itu adalah dengan tidak digerak-gerakkan. Wallahu a’lam