Senin, 27 Agustus 2012

Ijtihad Dan Taqlid


Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum
yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak
mengandung kecuali satu makna tentangnya.
Jadi Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang
yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang
hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui
sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh
dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta
menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaanpemaknaan
setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an,
mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad
dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak
mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma'
(konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.
Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat
besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu
kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan
memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan
tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila
diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut
melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid;
mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum
sampai kepada derajat tersebut di atas.
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini
adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam
Maknanya : “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang
mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak
orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R.
at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bukti terdapat pada lafazh:
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki
pemahaman”.
Dalam riwayat lain: 
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan
kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.


Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan
pemahaman kepada kita bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya
terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman
orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan
untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di
dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian
sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para
murid dan orang yang mendengar hadits darinya.

Pada lafazh lain hadits ini:
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang
lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-
Tirmidzi dan Ibnu Hibban.

Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh
hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
Maknanya: “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka
ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu
pahala”. (H.R. al Bukhari)


Dalam hadits ini disebutkan Penguasa secara
khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad
dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para
mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang
enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali,
‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam
Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari
kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar
enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang
mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih
sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka
bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca
al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata:

“Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia,
tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti
dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan
mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di
kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan
bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri
majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang
hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman
atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan
(memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang
ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka:
“Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan
satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata:
“Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada
orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang
berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu
aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus
ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak
perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan
mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk
seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata:
“Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua
dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing
tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah
dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh
jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia
bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka
salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka
hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam
kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita
bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar
langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya
memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki
kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi.
Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada
lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang
fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh
yang berani mengatakan: 

“Mereka adalah manusia dan kita juga
manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama
mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan
Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di
kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia
bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang
bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia
mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah
dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah
membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka,
Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena
obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan
adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah
berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut
bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu
mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa
badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya).

Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap
orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak
akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang
junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid
adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu
yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash
karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka
yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad,
padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh
dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini
adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa
membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau
hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama
secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini
adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama
Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah
pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga menyalahi para
ulama ahli hadits.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar