Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Ma'rifatullah) ?
وقَالَ الإِما م الرفَاعي أيضا: "غَايةُ الْمعرِفَة باللهِ الإِيقَا ُ ن ِبوجوده تعالَى ِبلاَ كَيف ولاَ مكَان".
Al Imam ar-Rifa'i berkata: "Batas akhir pengetahuan seorang hamba
tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala ada tanpa bagaimana (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat". (Disebutkan oleh al
Imam ar-Rifa'i dalam kitabnya Hal Ahl al Haqiqah ma'a Allah).
Karena seandainya Allah bertempat niscaya banyak sekali yang
menyerupainya.
Maka barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya tidaklah diterima ibadahnya sebagaimana perkataan al Imam al
Ghazali: "Tidaklah sah ibadah seseorang kecuali setelah ia mengetahui
Allah yang ia sembah". Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini (W.
471 H) dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, h. 98 mengutip perkataan
al Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- bahwa dia
berkata tentang Allah :
"ِإنَّ الَّذي أين اْلأَين لاَ يقَا ُ ل َله أين وإنَّ الَّذي كَيف الْكَيف لاَ يقَا ُ ل َله كَيف".
Maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al
kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana".
Al Imam Abu Manshur Al Baghdadi (W. 429 H) dalam kitabnya
al Farq Bayna al Firaq h. 256, berkata: "Sesungguhnya Ahlussunnah telah
sepakat bahwa Allah tidak diliputi tempat dan tidak dilalui oleh waktu".
Al Imam Syekh Abd Allah Ba 'Alawi al Haddad (W. 1132 H)
dalam bagian akhir kitabnya an-Nasha-ih ad-Diniyyah menuturkan:
"Aqidah ringkas yang bermanfaat -Insya Allah ta'ala- menurut jalan golongan
yang selamat. Mereka adalah golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, golongan
mayoritas umat Islam. Kemudian beliau -semoga Allah meridlainya–
berkata:
. "وأنه تعالَى مقَدس عنِ ال زمان والْمكَان وعن مشابهة الأَكْوانولاَ تحيطُ ِبه الْجِهات".
Maknanya: "Sesungguhnya Ia (Allah) ta'ala Maha suci dari zaman,
tempat dan maha suci dari menyerupai akwan (sifat berkumpul, berpisah,
bergerak dan diam) dan tidak diliputi oleh satu arah penjuru maupun
semua arah penjuru".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al
Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
"مهما تصورت ببالك فَاللهُ ِبخلاَف ذلك".
Maknanya: "Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang
Allah), maka Allah tidak seperti itu".
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al
Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I'tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al
Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah
yang merupakan Ijma' (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat
dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta
segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan suatu masa –
sedangkan masa adalah makhluk- yang di dalamnya tidak ada cahaya
dan kegelapan. Akan tetapi kita beriman dan membenarkan bahwa
cahaya dan kegelapan, keduanya memiliki permulaan. Keduanya tidak
ada kemudian menjadi ada. Allah-lah yang menciptakan keduanya.
Allah berfirman dalam al Qur'an:
[وجعلَ الظُّلُمات والنور ] [سورة الأنعام : 1]
Maknanya: "… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"
(Q.S. al An'am: 1)
Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih
utama kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan
arah serta tidak bisa kita bayangkan.
: قَالَ ِإمامنا َأبو بكْرٍ الصديق
"َالْعجز عن درك الإِدراك إدراك
والْبحثُ عن ذَاته كُفْر وإشراك".
Imam kita Abu Bakr ash-Shiddiq -semoga Allah meridlainyaberkata
yang maknanya: "Pengakuan bahwa pemahaman seseorang
tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allah adalah
keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allah, yakni
membayangkan-Nya adalah kekufuran dan syirik".
Maksudnya adalah kita beriman bahwa Allah ada tidak seperti
makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang Dzat (Hakekat)-Nya.
Adapun berpikir tentang makhluk Allah adalah hal yang dianjurkan
karena segala sesuatu merupakan tanda akan ada-Nya. Perkataan
Sayyidina Abu Bakr -semoga Allah meridlainya- tersebut diriwayatkan
oleh seorang ahli Fiqih dan hadits al Imam Badr ad-Din az-Zarkasyi
as-Syafi'i (W. 794 H) dan lainnya.
Kesimpulan :
Dalam hal apapun kita tidak diperbolehkan untuk memikirkan bagaimana zat Allah, dan semua yang terlintas dalam hati itu bukanlah zat Allah, misalnya terpikir dalam akal bahwa tergambar zat Allah berbentuk bulat atau seperti manusia, atau dalam bentuk lain, maka itu bukanlah zat Allah karena zat Allah tidak berbentuk dan sesuatu yang tidak terbentuk MUSTAHIL untuk kita bayangkan !!! Yang perlu kita kuatkan dalam keimanan bahwa Allah itu ada tanpa tempat, tanpa Arah dan tanpa bentuk, tidak boleh kita tanyakan (Haram) bagaimana bentuk Allah ? Dimana Allah ? Kapan Allah Ada ? pertanyaan seperti ini tidak boleh dipertanyakan.
Kita hidup untuk menikmati saja dan memperhatikan alam yang telah dijadikan Allah karena itu adalah tanpa bahwa Allah itu ada dan Allah berkuasa atas segalanya serta tidak boleh untuk naik dalam memikirkan zat Allah, cukup kita nikmati apa yang ada dibumi.
Analoginya begini : ketika kita diundang dalam suatu pesta, lalu kita datang menghadiri undangan tersebut kemudian kita dipersilahkan untuk menikmati makanan dan kita pun menyicipinya, apakah ketika kita menyicipi tersebut bahwa tidak ada orang yang memasak ??? pastinya ada, tapi kita tidak perduli siapa yang masak, bagaimana kulit orang yang masak, status orang yang masak, ketika itu kita tidak memikirkan tentang itu karena kita hanya menyicipi apa yang ada.
begitulah analoginya, kita disuruh menikmati apa yang ada tanpa memikirkan zat yang menciptakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar